Tenggiling di Indonesia berisiko mengalami kepunahan akibat perdagangan gelap. Berdasarkan laporan terbaru dari lembaga pemantau perdagangan satwa liar, Traffic, diketahui bahwa setiap tahunnya, ribuan hewan langka diselundupkan.
Lebih dari 35 ribu tenggiling jinak – mamalia pemakan semut dengan kulit tebal ini – ‘disita’ oleh pihak berwenang antara tahun 2010 hingga 2015. Hal ini menunjukkan adanya bisnis ilegal dalam skala besar.
Bagi para penduduk di Asia Tenggara dan Afrika, tenggiling dianggap berharga karena kelezatan dan khasiat pengobatannya.
(Baca juga: Perjuangan Badak Sumatera dalam Menghadapi Kepunahan Selama 10.000 Tahun)
Perburuan yang merajalela ini membuat tenggiling memiliki risiko kepunahan yang amat tinggi.
“Alam liar di Indonesia terkuras habis karena perdagangan illegal global,” ujar Kanitha Krishnasamy, direktur regional Traffic untuk Asia Tenggara.
“Meskipun komitmen pencegahannya sudah tinggi, namun perburuan terus terjadi tanpa henti,” tambahnya.
Studi ini menemukan fakta bahwa setidaknya ada 127 tersangka yang ditangkap di Indonesia terkait dengan kasus perdagangan liar dalam kurun waktu enam tahun.
Sumatra diketahui menjadi titik utama penghubung para penyelundup di Malaysia dan Singapura di mana hewan-hewan tersebut nantinya akan dikirim ke Tiongkok dan Vietnam.
(Baca juga: Pari Mobula Terancam Punah Akibat Penangkapan Berlebihan)
Pemerintah Indonesia mengatakan tidak bisa menghentikan perdagangan illegal itu sendiri. Negara-negara penerima pun harus segera menindak importir.
“Jangan hanya menyalahkan Indonesia. Dibutuhkan dua pihak untuk mengatasi masalah ini,” kata Bambang Dahono Aji, Direktur Konservasi Kementerian Lingkungan Hidup, kepada AFP.
Pada Oktober lalu, lebih dari 100 tenggiling diselamatkan di sebuah kapal nelayan di lepas pantai timur Sumatra. Dua orang ditangkap atas percobaan penyelundupan mamalia bersisik ini ke Malaysia.
Sebelumnya, di bulan Juni, lebih dari 223 tenggiling hidup ditemukan di sebuah gudang di Medan, Sumatra Utara.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR