Nationalgeographic.co.id - Pada 2014 lalu, walikota terpilih Kota Makassar, Danny Pomanto, berkeinginan untuk membangun Makassar sebagai kota pintar atau smart city. Ia melakukan riset dan menemukan bahwa mayarakat Makassar belum familiar dengan istilah ‘smart city’. Untuk menjadikan Makassar sebagai kota pintar, ia perlu menyampaikan pemahaman kepada lebih dari 1,5 juta penduduk dengan latar belakang berbeda-beda.
Mereka mungkin memiliki berbagai teknologi modern atau membangun beragam infrastruktur bagus, tetapi semua itu harus direkatkan dengan masyarakatnya agar tercipta keberlanjutan. Penduduk adalah manusia.
Baca juga: Cara Jepang Bertahan Dari Serangan Gempa Bumi yang Kerap Terjadi
Jadi, Pomanto ingin melakukan pendekatan kepada warganya dengan cara yang lebih manusiawi, agar mereka memahami apa yang akan mereka lakukan sebagai masyarakat cerdas. “Saya ingin menyentuh hati orang-orang,” kata Pomanto.
Secara harfiah, 'sombere' berarti ‘baik hati dan terbuka’, tetapi itu juga merujuk pada “pelayanan yang baik, persaudaraan yang erat, dan semangat yang besar’.
Di bawah Pemerintah Kota Makassar, proyek smart city di Makassar dimulai dengan istilah lokal, Sombere. Secara harfiah, kata itu berarti ‘baik hati dan terbuka’, tetapi itu juga merujuk pada “pelayanan yang baik, persaudaraan yang erat, dan semangat yang besar’.
Kata ini diletakkan sebelum kata ‘smart city’ untuk meningkatkan kesadaran masyarakat lokal yang memainkan peran besar dalam konsep smart city. Sejumlah proyek yang sejalan dengan program smart city telah dibuat dan berjalan hingga kini. Semuanya dijalankan dengan semangat Sombere. Pemerintah percaya bahwa teknologi harus berjalan selaras dengan identitas warga lokal.
Pemerintah kota memulai dari masalah paling krusial di masyarakat: kesehatan publik dan pelayanannya. Mereka menyiapkan layanan kesehatan publik dengan sentuhan manusia. Pertama, pemerintah menyediakan Makassar Smart Card yang merupakan hasil kolaborasi dengan program CSR bank, dan diperuntukkan bagi masyarakat. Kartu debit itu juga merekam data warga, termasuk rekam medis mereka. Kartu tersebut dapat digunakan untuk mendapatkan layanan kesehatan termasuk layanan kesehatan baru: Home Care.
Home Care merupakan fasilitas kesehatan dalam mobil yang beroperasi selama 24 jam dan berpindah-pindah. Seperti halnya ambulans, Home Care dengan dokter akan datang ke rumah warga untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Pemeriksaan lanjutan seperti USG dan EKG dapat dilakukan di Home Care, kemudian datanya akan dikirim secara daring ke dokter spesialis dan hasilnya akan dikirim secara daring juga.
Hal itu terdengar meyakinkan, tetapi masyarakat lokal bisa saja tidak sadar terhadap keberadaan 48 mobil Home Care yang disediakan untuk mereka dan bagaimana cara kerjanya. Mobil itu kemudian diberi nama Dottoro’ta, yang dalam bahasa lokal berarti “Dokter Kita”. Bahasa lokal ini digunakan untuk membuat masyarakat familiar dan menciptakan lebih banyak sentuhan manusia pada fasilitas tersebut.
Baca juga: Kesehatan dan Umur Panjang Terkandung di Balik Pedasnya Si Cabai
Secara garis besar, proyek Sombere & Smart City Makassar terdiri dari enam modul, yaitu: Smart governance, untuk mengoptimalkan pelayanan publik dari pemerintah kota; Smart branding, untuk meningkatkan kesadaran terhadap karakter kota, terutama untuk pariwisata; Smart economy, untuk membangun ekosistem yang baik dan mendorong less cash society; Smart living, untuk menciptakan kehidupan yang nyaman dan meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan; Smart society, untuk membangun masyarakat yang interaktif dan humanis; Smart environment, untuk mengurangi dan memanfaatkan sampah serta menciptakan sumber energi yang lebih baik.
Dalam tiga tahun terakhir, ada beberapa proyek yang telah selesai atau masih berjalan seiring komitmen pemerintah kota untuk membangun Sombere & Smart City Makassar. Semuanya dirancang untuk bisa sedekat mungkin dengan masyarakat. Untuk membuat orang-orang merasa dan menyadari bahwa smart city adalah bagian dari kehidupan mereka, sehingga menciptakan kehidupan berkelanjutan bagi para warga.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR