Tembakau adalah satu-satunya penyebab kematian yang dapat dicegah. Tapi longgarnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia membuat jumlah perokok terus meroket sehingga menempati urutan ketiga terbesar setelah Cina dan India.
Konsumsi rokok yang meningkat makin memperberat beban penyakit akibat rokok dan bertambahnya angka kematian akibat rokok. Penyakit terkait rokok menyebabkan defisit keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Riset kami menunjukkan kerugian makro ekonomi akibat konsumsi rokok di Indonesia pada 2015 mencapai hampir Rp600 triliun atau empat kali lipat lebih dari jumlah cukai rokok pada tahun yang sama. Kerugian ini meningkat 63% dibanding kerugian dua tahun sebelumnya.
Konsumsi tembakau di Indonesia meningkat dengan pesat dalam 30 tahun terakhir disebabkan oleh beberapa faktor: tingginya angka pertumbuhan penduduk, harga rokok yang relatif murah, pemasaran yang leluasa dan intensif oleh industri rokok, dan kurangnya pengetahuan masyarakat akan bahaya yang ditimbulkan tembakau.
“Keberhasilan” bisnis rokok di negeri ini terlihat dari meningkatnya persentase jumlah perokok di kalangan anak-anak dan remaja. Indikasinya, antara 1995 sampai 2013, perokok berusia 10-14 tahun meningkat dari 0,5% menjadi 4,8% dan perokok berusia 15-19 tahun meningkat dari 13,7% menjadi 37,3%. Prevalensi perokok aktif di perdesaan berjumlah dua kali di perkotaan.
Ironisnya, belanja rumah tangga kelompok masyarakat miskin untuk rokok, menempati urutan ketiga tertinggi setelah makanan siap saji dan beras, di atas pengeluaran untuk kesehatan dan pendidikan.
Sebagian besar studi tentang biaya merokok dan konsekuensi ekonomi dari penyakit dan cedera akibat merokok mengadopsi pendekatan biaya kesakitan (cost-of-illness approach). Konsekuensi ekonomi dari sakit terdiri dari (1) biaya yang ditimbulkan karena penyakit dan biaya terkait lainnya dan (2) nilai kerugian produksi karena berkurangnya atau hilangnya jam kerja.
Pendekatan ini tidak mencakup dampak terhadap kesejahteraan dan waktu senggang. Tidak juga menangkap dampak dinamika jangka panjang penyakit terhadap perubahan dalam komposisi demografi atau berkurangnya sumber daya karena investasi keuangan dan sumber daya manusia. Karena itu, metode ini hanya mencakup perkiraan parsial dan statis dari total dampak makro ekonomi penyakit.
Dampak ekonomi dari merokok menyebabkan dampak buruk terhadap masyarakat karena kematian prematur, produktivitas yang hilang, dan beban keuangan yang ditanggung oleh perokok dan keluarga mereka, penyedia jasa kesehatan, penyedia layanan asuransi, dan perusahaan pemberi kerja.
Biaya ekonomi merokok terdiri dari biaya langsung dan tidak langsung. Biaya langsung meliputi barang atau jasa yang melibatkan transaksi moneter seperti biaya penggunaan pelayanan kesehatan (perawatan di rumah dan rumah sakit, jasa dokter, dan obat penyakit terkait dengan rokok) dan biaya terkait lainnya seperti biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, biaya penunggu penderita. Analisis biaya langsung dalam riset kami merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan No. 59/2014 tentang Tarif Standar Asuransi Kesehatan Nasional.
Ada pun biaya tidak langsung dari merokok meliputi kehilangan sumber daya lain, seperti waktu dan produktivitas yang hilang akibat sakit dan disabilitas, serta kematian prematur karena penyakit terkait rokok. Orang yang sakit mungkin tidak bisa bekerja atau bahkan tidak mampu melakukan kegiatan rumah tangga dan perawatan anak. Biaya morbiditas diperkirakan dengan menentukan berapa yang mampu dihasilkan orang tersebut (dengan pekerjaan berupah) dan juga memperkirakan nilai untuk produksi rumah tangga yang hilang.
Kemungkinkan perokok meninggal karena beberapa jenis penyakit yang terkait dengan kebiasaan merokok akan meningkat. Nilai hilangnya nyawa dikenal sebagai biaya mortalitas. Satu ukuran yang digunakan untuk mengikuti nilai kehidupan yang dibuat berdasarkan nilai moneter kehidupan. Perhitungan bisa dilakukan menggunakan human capital approach, yang menghargai nyawa berdasarkan apa yang dihasilkan oleh individu. Ada pula pendekatan keinginan untuk membayar (willingness to pay approach), yang menghargai nyawa berdasarkan apa yang mereka berani tanggung untuk menghindari penyakit atau kematian.
Pengukuran lain yang digunakan adalah nilai kerugian akibat kematian prematur dihitung dengan menggunakan kehilangan tahun produktif, dengan memperhitungkan sisa usia berdasarkan harapan hidup (years of potential life lost/YPLL). Disability Adjusted Life Years (DALYs) Loss alias Tahun Produktif yang Hilang menggabungkan sakit dan atau disabilitas karena merokok dan kematian prematur dalam satu pengukuran.
Sebagai faktor risiko, tembakau bertanggung jawab atas lebih dari 30 penyakit, sebagian besar penyakit tidak menular. Dalam studi ini, kami menggunakan pengukuran 33 penyakit berdasarkan data WHO, mulai dari kanker, jantung koroner, tuberkulosis paru, hingga radang sendi.
Data dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dalam tiga tahun terakhir menunjukkan tingginya beban penyakit tidak menular yang terkait tembakau telah menguras keuangan BPJS.
Meningkatnya jumlah perokok aktif di kalangan generasi muda akan membahayakan kualitas generasi mendatang dan mempengaruhi kualitas bonus demografi yang diharapkan terjadi di Indonesia.
Karena nikotin pada tembakau bersifat adiktif, belanja tembakau pada tingkat rumah tangga mengalahkan semua prioritas belanja rumah tangga lainnya, termasuk keperluan makanan bergizi dan pendidikan anak. Situasi ini dapat melanggengkan atau memperburuk tingkat sosial-ekonomi keluarga miskin.
Melihat pentingnya tembakau sebagai salah satu risiko utama terhadap kesehatan, pemantauan terhadap distribusi dan intensitas penggunaan tembakau menjadi penting dalam mengidentifikasi prioritas intervensi dan mengevaluasi kemajuan upaya pengendalian tembakau.
Epidemi penggunaan tembakau menimbulkan penyakit terkait tembakau yang sebenarnya dapat dicegah, mempengaruhi kesejahteraan sosial masyarakat warga miskin dan memperburuk beban ekonomi makro negara.
Indonesia harus mempercepat upaya peningkatan status kesehatan masyarakat, termasuk mengendalikan salah satu faktor risiko utama yakni penggunaan tembakau, sehingga dapat menahan epidemi penyakit tidak menular. Sampai kini Indonesia adalah satu-satunya di Asia Pasifik yang belum mengaksesi atau menyetujui WHO Framework Convention on Tobacco Control (WHO FCTC).
Pada 2008, WHO memperkenalkan MPOWER (Monitor, Protect, Offer help, Warn, Enforce, Raise taxes) sebagai sebuah paket berisi enam kebijakan pengendalian tembakau yang penting dan efektif. Kebijakan MPOWER meliputi upaya menaikkan pajak dan harga rokok, melarang iklan, promosi dan pemberian sponsor, melindungi masyarakat dari paparan asap rokok, memberikan peringatan bergambar akan bahaya merokok, menawarkan bantuan kepada mereka yang ingin berhenti merokok dan memantau kebijakan pencegahan dan kejadian epidemi.
Komitmen pemerintah, masyarakat sipil, termasuk organisasi masyarakat dan sektor swasta untuk melaksanakan kebijakan pengendalian tembakau sangat dibutuhkan untuk menurunkan konsumsi tembakau, mengurangi beban ekonomi dan kesehatan akibat penyakit terkait tembakau dan mencegah kematian dini.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa kita tidak dapat menghambat peningkatan prevalensi perokok aktif, termasuk di kalangan kaum muda. Karena itu upaya-upaya pengendalian tembakau yang efektif dan berkesinambungan harus dilakukan.
Estimasi kerugian makro ekonomi secara jelas menunjukkan bahwa dampak ekonomi karena konsumsi tembakau cenderung merugikan upaya perbaikan kesehatan masyarakat dan pembangunan secara keseluruhan. Situasi ini menunjukkan perlunya koordinasi yang lebih baik antara pemerintah pusat dan daerah dalam melaksanakan pengendalian dan menahan laju peningkatan penggunaan tembakau.
Kepemimpinan yang lebih kuat dan memihak pada kesehatan dibutuhkan baik di tingkat pusat dan daerah untuk mendukung program pencegahan dampak negatif dari konsumsi tembakau.
Ada kebutuhan mendesak untuk melarang total iklan rokok di media massa, mencegah inisiasi penggunaan tembakau oleh generasi muda dan populasi perempuan, memberikan akses strategis layanan berhenti merokok, dan meningkatkan harga rokok dan rata-rata cukai rokok hingga mencapai 57% (nilai maksimum menurut UU Cukai) dan menghilangkan nilai batas atas cukai rokok. Menaikkan harga dan cukai yang tinggi adalah cara agar orang miskin dan anak-anak tidak lagi membeli rokok.
Juga sangat mendesak memperluas dan memperkuat regulasi kawasan bebas asap rokok. Dalam konteks riset, perlu meningkatkan investasi untuk penelitian dan pengembangan isu tembakau dalam berbagai bidang dan untuk mendapatkan upaya pengendalian tembakau yang lebih efektif dan efisien. Bila itu dilakukan bisa menurunkan konsumsi rokok di masa depan dan mencegah naiknya angka kematian karena penyakit tidak menular yang muncul dari konsumsi rokok.
Soewarta Kosen, Policy Researcher, National Institute of Health Research and Development Ministry of Health Indonesia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR