Jika melihat kebahagiaan dari sudut pandang hedonis, kita akan selalu mencari pengalaman dan kesenangan baru dalam waktu singkat untuk ‘mengisi’ kebahagiaan tersebut.
Kita juga selalu berusaha untuk meminimalisir perasaan tidak menyenangkan dan menyakitkan agar mood selalu bagus.
Namun, jika mengikuti pendekatan eudaimonik, kita akan berjuang untuk menemukan makna hidup. Berusaha keras untuk melakukan sesuatu hal yang berharga. Ini mungkin melibatkan pengalaman yang kurang menyenangkan. Namun, nantinya akan memberikan tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang lebih dalam.
(Baca juga: Rahasia Sederhana Panjang Umur)
Jadi, memiliki hidup yang bahagia bukan berarti selalu menghindari masa-masa sulit; tapi bagaimana kita mampu merespons hal tersebut sehingga bisa lebih berkembang dari pengalaman.
Tumbuh dari kesengsaraan
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa mengalami kesengsaraan, sebenarnya baik untuk diri sendiri – tergantung bagaimana kita meresponsnya.
Berdamai dengan tekanan bisa membuat kita lebih tangguh. Pada akhirnya, kita menjadi lebih berani mengambil tindakan besar dalam hidup, seperti perubahan karier.
Pada salah satu penelitian, orang-orang yang pernah menghadapi trauma mengatakan bahwa pengalaman buruknya itu menjadi katalisator perubahan dan transformasi hidupnya. Dikenal dengan fenomena ‘perkembangan diri pasca trauma’.
Seringnya, ketika seseorang dihadapkan pada kesulitan, rasa sakit dan kehilangan, ia justru merasa hidupnya lebih bahagia dan bermakna pada akhirnya.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR