Selama lebih dari dua dekade, gerakan psikologi positif telah mencerahkan dunia penelitian dengan ilmu kebahagiaan serta perkembangan potensi manusianya.
Mereka berpendapat, psikolog seharusnya tidak hanya meneliti tentang penyakit jiwa, tapi juga tentang apa yang membuat hidup layak untuk dijalani.
Bapak psikologi positif, Martin Seligman, mendeskripsikan kebahagiaan sebagai pengalaman merasakan emosi positif seperti sukacita, kegembiraan dan kepuasan yang dikombinasikan dengan perasaan mendalam terkait makna dan tujuan hidup.
Ini menyiratkan sebuah pemikiran positif di masa kini dan sifat optimis saat menyongsong masa depan.
(Baca juga: Cara Sederhana dalam Satu Minggu untuk Menggapai Kehidupan yang Lebih Bahagia)
Lebih penting lagi, para peneliti mengatakan bahwa kebahagiaan bukanlah sifat yang stabil, melainkan sesuatu yang fleksibel dan bisa kita perjuangkan. Bekerja keras untuk mencapai kebahagiaan memang harus dilakukan. Namun, memaksakan diri untuk selalu hidup bahagia, sangat tidak realistis.
Penelitian terbaru menunjukkan, fleksibilitas psikologis kita menjadi kunci kebahagiaan dan kesejahteraan diri.
Sebagai contoh, terbuka pada pengalaman emosional dan kemampuan untuk mentolerir ketidaknyamanan akan membuat hidup menjadi lebih kaya dan bermakna.
Beberapa studi menunjukkan bahwa cara kita merespons situasi buruk yang terjadi dalam hidup, memiliki pengaruh besar pada kebahagiaan. Merasa stres, sedih, dan cemas saat ini, bukan berarti kita tidak bisa bahagia di masa mendatang.
Dua jalan menuju kebahagiaan
Secara filosofis, ada dua jalan yang ditempuh untuk merasa bahagia, yakni hedonistik dan eudaimonik.
Menurut hedonis, untuk bahagia, kita harus merasakan kesenangan maksimal dan menghindari rasa sakit. Dilakukan dengan cara memuaskan nafsu dan keinginan diri sendiri. Namun, biasanya bertahan sebentar.
Sebaliknya, eudamonik memiliki pemikiran jangka panjang. Mereka berpendapat, jika ingin bahagia, kita harus hidup sebaik-baiknya. Kita harus mencari makna dan tujuan hidup melalui kebaikan, keadilan, kejujuran dan keberanian.
Jika melihat kebahagiaan dari sudut pandang hedonis, kita akan selalu mencari pengalaman dan kesenangan baru dalam waktu singkat untuk ‘mengisi’ kebahagiaan tersebut.
Kita juga selalu berusaha untuk meminimalisir perasaan tidak menyenangkan dan menyakitkan agar mood selalu bagus.
Namun, jika mengikuti pendekatan eudaimonik, kita akan berjuang untuk menemukan makna hidup. Berusaha keras untuk melakukan sesuatu hal yang berharga. Ini mungkin melibatkan pengalaman yang kurang menyenangkan. Namun, nantinya akan memberikan tingkat kebahagiaan dan kepuasan yang lebih dalam.
(Baca juga: Rahasia Sederhana Panjang Umur)
Jadi, memiliki hidup yang bahagia bukan berarti selalu menghindari masa-masa sulit; tapi bagaimana kita mampu merespons hal tersebut sehingga bisa lebih berkembang dari pengalaman.
Tumbuh dari kesengsaraan
Sebuah penelitian menunjukkan bahwa mengalami kesengsaraan, sebenarnya baik untuk diri sendiri – tergantung bagaimana kita meresponsnya.
Berdamai dengan tekanan bisa membuat kita lebih tangguh. Pada akhirnya, kita menjadi lebih berani mengambil tindakan besar dalam hidup, seperti perubahan karier.
Pada salah satu penelitian, orang-orang yang pernah menghadapi trauma mengatakan bahwa pengalaman buruknya itu menjadi katalisator perubahan dan transformasi hidupnya. Dikenal dengan fenomena ‘perkembangan diri pasca trauma’.
Seringnya, ketika seseorang dihadapkan pada kesulitan, rasa sakit dan kehilangan, ia justru merasa hidupnya lebih bahagia dan bermakna pada akhirnya.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR