Di Australia, semakin banyak orang hidup di apartmen. Di satu sisi, kota kompak (compact city) memang memberi banyak manfaat. Namun di sisi lain, hidup berdekatan satu sama lain juga menghadirkan tantangan.
Pesatnya pembangunan apartemen dalam beberapa dekade terakhir membuat keluhan terkait kebisingan dan percekcokan di perkotaan Australia meningkat. Rumah tangga dengan anak-anak paling sering mengalami ketegangan-ketegangan semacam itu. Mereka adalah salah satu demografi penghuni apartemen yang tumbuh paling cepat.
Analisis terhadap data sensus terakhir menunjukkan, keluarga dengan anak-anak di bawah usia 15 tahun merupakan 25% populasi apartemen Sydney.
Desain apartemen dan penerimaan budaya keluarga di kota vertikal tidak dibarengi pergeseran bentuk-bentuk perumahan ini. Bayangan akan kehidupan di rumah tapak masih berlaku. Para perancang dan pengembang apartemen mereproduksi bayangan itu dengan mengabaikan anak-anak dalam perancangan dan pemasaran gedung.
Akibatnya, karena suara anak-anak sulit diprediksi atau dikontrol, perubahan demografi apartemen adalah persoalan bagi para perencana maupun penghuni.
Penelitian saya mengulik pengalaman sehari-hari keluarga yang menempati apartemen di Sydney. Penelitian ini mengungkapkan bahwa para orang tua yang berusaha membuat kehidupan apartemen berjalan baik harus jungkir balik secara emosional.
Hidup di apartemen sering menciptakan dilema emosional antara menjadi orang tua yang baik dan menjadi tetangga yang baik. Para orang tua ingin membiarkan anak-anak menjadi anak-anak, tetapi selalu khawatir kalau-kalau membikin kesal tetangga.
(Baca juga: Mengapa Anak-anak Butuh Risiko, Rasa Takut, dan Keriangan Ketika Bermain?)
Kota-kota memiliki berlapis-lapis suara yang berlainan, tetapi rumah dirancang sebagai ruang privat yang damai dan tenang. Suara-suara yang menyusup dianggap kebisingan. Tetangga yang “baik” di apartemen tentu tak mau ada suara yang merembes ke tetangganya.
Ini nyaris mustahil ketika ada anak-anak (apalagi di apartemen yang dirancang dengan buruk). Anak-anak kerap menangis di malam hari dan berlari-lari di siang hari.
Para orang tua mengalami susahnya melatih pola tidur bayi (sleep training) di apartemen. Mereka ingin menjadi tetangga yang berperasaan, sehingga cemas dan merasa bersalah ketika anak-anak mereka tidak bisa diajak bekerja sama.
Tak sedikit yang menerima surat kemarahan dari para tetangga, atau mendengar mereka berteriak-teriak dan memukul-mukul dinding dan langit-langit sebagai tanda protes tengah malam.
Kecemasan orang tua tidak terbatas pada malam hari. Memantau anak-anak bermain untuk mengurangi kegaduhan, terasa seperti membatasi kesenangan.
Orang tua mencoba banyak strategi untuk menanggulangi kegaduhan, misalnya memasang karpet dan tikar busa, membatasi beberapa aktivitas tertentu, menutup jendela atau menutup lubang ventilasi. Harapannya adalah suara anak-anak tidak menjadi bahan protes di apartemen.
(Baca juga: Orangtua Terlalu Protektif, Anak Malah Membangkang)
Takut anak-anak berisik selalu menjadi yang pertama melintas dalam benak. Menyadari pengawasan dan penilaian moral (yang kadang-kadang dilakukan secara terbuka) tetangga mereka, mereka mengubah rutinitas rumah tangga mereka dan memodifikasi rumah mereka sebisa mungkin.
Perlu ada perubahan yang lebih luas. Keluarga yang hidup bersama anak-anak di apartemen tidaklah sesuai dengan norma yang menggambarkan rumah sebagai tempat ketenteraman; yang mendefinisikan “tetangga yang baik” sebagai tetangga yang tenang; dan yang menempatkan anak-anak di tempat lain (rumah-rumah terpisah). Dan mereka dihadang norma semacam itu dalam hunian yang menghambat upaya mereka untuk mengendalikan bunyi.
Keluarga yang hidup di apartemen aktif menjalankan strategi untuk membuat kehidupan sehari-hari “berjalan dengan baik”. Tetapi tak banyak orang yang bisa berubah. Problem lebih luas desain dan performa akustik apartemen yang buruk masih ada. Norma-norma kultural and teknis harus digeser jika paradigma kebijakan konsolidasi urban diharapkan bisa memenuhi kebutuhan sebuah populasi yang beragam.
Sophie-May Kerr, PhD Candidate in Human Geography, University of Wollongong
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR