Di Indonesia, pusat-pusat kreatif yang dikenal sebagai creative hubs seperti ruang kerja bersama (co-working space) dan ruang berkarya (makerspace) menjadi tempat pekerja kreatif mewujudkan ide-ide orisinal mereka. Namun, meski pertumbuhan tempat-tempat tersebut dapat mendorong inovasi, mereka berpotensi pula memperparah ketimpangan digital antara kota-kota besar dan daerah.
Creative hubs adalah istilah yang dipopulerkan Pusat Kebudayaan Inggris (Bristish Council) untuk mengidentifikasi “ruang, baik virtual maupun fisik, yang menjadi tempat bertemu orang-orang kreatif”.
Di Indonesia, kebanyakan tempat semacam ini berbentuk ruang kerja bersama (co-working spaces), yaitu tempat kerja berbasis keanggotaan, ruang tempat kerja dengan alat produksi bersama yang dikenal makerspace, atau ruang kreatif seperti galeri seni independen.
(Baca juga: Pekerja Lepas, Pilihan Profesi di Masa Depan?)
Ruang-ruang ini menyediakan lingkungan tempat ide-ide dapat bermunculan dan berbagai rencana diwujudkan. Contohnya, Code Margonda di Depok, Jawa Barat adalah markas beberapa startup. Sementara Makedonia di Jakarta menyediakan printer 3D untuk murid sekolah menengah atas untuk bereksperimen secara gratis.
Ruang-ruang ini memungkinkan ide-ide dan pendekatan yang baru dalam mengembangkan komunitas. Perkembangan ruang-ruang semacam ini tumbuh dengan stabil antara 2002 dan 2010 di Bandung, Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta. Di Jakarta sejumlah ruang kerja bersama bermunculan antara 2010 dan 2012. Grafik di bawah menunjukkan pertumbuhan yang cepat pusat-pusat kreatif.
Namun, seperti ditunjukkan di atas, kenaikan yang drastis terjadi antara 2012 dan 2014, saat jumlah pusat-pusat kreatif meningkat tiga kali lipat dalam waktu dua tahun. Pergeseran ke teknologi digital dalam lima tahun belakangan telah membuat jaringan orang-orang dan ide-ide kreatif menjadi lebih penting ketimbang ruang fisik permanen.
Tren pendirian startup, kolaborasi dan “bekerja lepas” menyumbang pada pertumbuhan pasar ruang kerja bersama dan kantor virtual. Ruang kerja bersama menjawab kebutuhan pekerja lepas yang tidak dapat dipenuhi berjamurnya warung kopi dengan koneksi internet yang gratis tapi terbatas.
Bermunculannya ruang-ruang kerja bersama datang di saat yang tepat. Tren bertumbuhnya pusat-pusat kreatif juga mengisyaratkan tumbuhnya sektor teknologi dan kreatif di negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia.
Bertumbuhnya ruang-ruang kerja bersama adalah fenomena sosial dan ekonomi, terutama berkaitan dengan meningkatnya startup digital dan ekonomi berbasis internet. Di kalangan generasi muda, menghabiskan waktu produktif di ruang kerja bersama telah menjadi kebutuhan—dan norma baru.
Lanskap pusat-pusat kreatif menjadi beragam karena tren tersebut. Beberapa pusat kreatif dibangun atas asas kemandirian dan prinsip lakukan sendiri (Do It Yourself). Makedonia dan Code Margonda adalah penganut asas tersebut. Mereka fokus pada pentingnya komunitas dan kolaborasi.
Di sisi lain, ada juga pusat kreatif yang beroperasi dengan dukungan dana investor besar. Contohnya Cre8 yang didukung oleh Kejora Venture dan EV Hive yang didukung oleh East Venture. Dana investor ini memungkinkan mereka yang mendapatkannya menyewa atau membeli properti dengan lebih mudah serta membantu mereka menciptakan ruang kerja yang ciamik.
Ruang-ruang kreatif yang didukung oleh dana venture capital biasanya lebih maju dalam perencanaan bisnis mereka. Hal ini mengkompensasi ketidakmampuan mereka untuk menjangkau pekerja dan komunitas kreatif yang ada. Perbedaan antara co-working space yang didukung investor dan yang tumbuh dari komunitas kadang menciptakan jarak antara para coworking space ini. Ada perbedaan persepsi dan prinsip di dalamnya, meski kolaborasi menjadi tumpuan mereka dalam mengelola sektor yang masih sangat muda ini.
Ruang-ruang ini juga berpotensi menjadi sumber ketimpangan digital. Seperti telah dibahas oleh beberapa penulis, ruang-ruang kerja bersama ini bisa menjadi ruang-ruang “wirausahawan digital yang terisolasi” tanpa hubungan yang nyata dengan sektor-sektor lain. Dalam konteks ini, coworking space bisa jadi justru memperparah ketimpangan yang sudah lama terlihat dalam hal infrastruktur, akses, dan peluang.
Di sinilah pemerintah dapat berperan untuk memperkecil kesenjangan. Pemerintah melalui Badan Ekonomi Kreatif sebaiknya mengintervensi dengan mendirikan lebih banyak pusat-pusat kreatif di luar kota-kota besar di Indonesia.
Pemilik pusat-pusat kreatif “akar rumput” secara umum sangat tangguh. Mereka belajar beradaptasi dengan situasi dari sejak awal, seringkali melalui kesulitan yang berat. Karena pasarnya masih labil, manajer pusat-pusat kreatif memiliki kerja berat membangun produk mereka dari nol, memperkenalkan konsep pusat kreatif kepada pelanggan mereka sembari setia pada nilai-nilai yang mereka pegang.
(Baca juga: Langkah-langkah Menciptakan Tempat Kerja yang Sehat Bagi Mental)
Keberlangsungan pendanaan menjadi masalah yang paling utama untuk dipecahkan karena pasar masih harus diperkenalkan pada jasa yang ditawarkan co-working space. Ini memaksa mereka untuk berlaku kreatif dalam menjalankan operasi mereka. Menurut survei yang kami lakukan pada 2017, pendapatan utama pusat-pusat kreatif didapatkan dari pemasaran program (contohnya pelatihan, seminar, dsb) karena kesulitan menarik pendapatan tetap dari iuran pelanggan co-working space.
Di tengah tantangan-tantangan ini, manajer ruang kreatif menunjukkan optimisme yang tinggi mengenai masa depan mereka.
Dari survei kami, rata-rata tingkat optimisme pengelola creative hub ada pada skor 8,275 dari skala 0-10. Optimisme yang layak disebarluaskan, seandainya sektor ini dapat pula mendorong praktik yang lebih inklusif bagi para pelakunya.
Fajri Siregar, PhD Candidate, University of Amsterdam
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR