Perubahan iklim dan pemanasan global memberi dampak besar bagi kehidupan di bumi. Salah satunya pada kehidupan manusia. Namun, siapa sangka jika perubahan iklim memberi dampak lebih besar pada perempuan.
Hal ini ditunjukkan oleh sebuah hasil penelitian baru-baru ini. Dalam data PBB, orang yang mengungsi akibat perubahan iklim 80 persen adalah perempuan. Peran sebagai pengasuh utama dan penyedia makanan serta bahan bakar membuat perempuan lebih rentan saat terjadi banjir atau kekeringan.
Bukti paling nyata terlihat di Afrika bagian tengah, tepatnya di sekitar Danau Chad. Saat ini, 90 persen Danau tersebut telah menghilang. Hal itu tentu berdampak bagi penduduk asli nomaden. Karena garis danau yang surut, para perempuan asli sekitar harus berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air.
Artikel terkait: Video Memilukan: Beruang Kutub Kelaparan di Daratan Tanpa Es, Bukti Nyata Perubahan Iklim
"Di musim kemarau, para pria pergi ke kota, meninggalkan perempuan untuk menjaga masyarakat," ungkap Hindou Oumaru Ibrahim, koordinator asosiasi perempuan adat dan penduduk Chad (AFPAT) dikutip dari BBC, Kamis (08/03/2018).
Dengan musim kemarau yang lebih panjang seperti sekarang ini, perempuan bekerja lebih keras untuk memberi makan dan merawat keluarga mereka. "Mereka (perempuan) menjadi lebih rentan. Ini pekerjaan yang sangat sulit," sambung Ibrahim.
Tak Hanya Pedesaan
Jika Anda berpikir yang terkena dampak paling parah dari perubahan iklim, itu tak sepenuhnya benar. Secara global, perempuan cenderung mengalami kemiskinan dan lebih sedikit punya kekuatan sosial-ekonomi dibanding pria. Hal inilah yang membuat perempuan cenderung lebih sulit pulih dari bencana yang mempengaruhi insfrastuktur, lapangan kerja, dan perumahan.
Salah satu contohnya adalah badai Katarina di Amerika Serikat pada 2005. Pihak yang paling merasakan dampaknya adalah perempuan Amerika-Afrika saat terjadi banjir di Louisiana. Saat permukaan laut naik dan menyebabkan banjir, kota-kota dataran rendah seperti New Orleans semakin berisiko.
"Di New Orleans, ada kemiskinan yang jauh lebih tinggi di antara populasi Amerika-Afrika sebelum badai Katrina," kata Jacquelyn Litt, profesor kajian perempuan dan gender di Rutgers University, AS.
Artikel terkait: Lima Langkah Memerangi Perubahan Iklim Bagi Si Pemalas
"Lebih dari separuh keluarga miskin di kota tersebut dikepalai oleh ibu tunggal," imbuhnya. Litt menambahkan, para perempuan tersebut umumnya bergantung pada jaringan masyarakat untuk bertahan hidup. Saat badai datang, kerusakan mengikis jaringan tersebut.
"Ini menempatkan perempuan dan anak-anak mereka pada risiko yang jauh lebih besar," kata Litt. Selain itu, saat terjadi bencana, biasanya tempat penampungan darurat tidak cukup dilengkapi fasilitas pendukung untuk perempuan. Contohnya fasilitas sanitasi.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR