Data UNICEF tahun 2017 menunjukkan lebih dari 700 juta perempuan di seluruh dunia saat ini menikah ketika masih anak-anak. Agama, tradisi, kemiskinan, ketidaksetaraan gender dan ketidakamanan karena konflik menjadi alasan utama tingginya jumlah perkawinan anak.
dikutip dari voaindonesia.com, Megawati, salah satu korban perkawinan anak dari desa Pijot, kecamatan Keruak, kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat menceritakan kisahnya ketika terpaksa mengikuti atad istiadat ang belaku di tepatnya. Adat istiadat setempat yang mendorong anak perempuan usia 14 dan 15 tahun menikah muda, membuat keluarga Megawati menikahkannya ketika berusia 16 tahun.
“Saya merasa ketika itu menikah tidak seindah yang digambarkan pada saya. Tidak seperti yang saya bayangkan. Saya sering bertengkar dengan suami karena hal-hal sepele, misalnya beda pendapat atau tidak ada uang, atau beda keinginan, atau karena adanya orang ketiga – yaitu mertua atau tetangga – yang selalu ikut campur dalam urusan rumah tangga saya. Suami suka memukul. Saya saat itu juga tidak tahu bagaimana mengurus anak. Beberapa tahun setelah menikah saya punya bayi dan saya bingung karena tidak tahu harus bagaimana. Suami juga waktu itu tidak bekerja dan hanya mengandalkan pemberian orang tuanya yang hanya cukup untuk sehari-hari saja.”
Baca juga: Korban Kawin Anak: “Kami Butuh Ijazah, Bukan Buku Nikah”
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR