Korban Pernikahan Anak Kini Jadi Aktivis dan Juru Kampanye
Sebagian perempuan yang belajar di “Sekolah Perempuan” ini adalah korban perkawinan anak yang kemudian dilatih menjadi aktivis. Diantaranya Megawati, korban perkawinan anak yang kini tidak saja ikut berkampanye menolak perkawinan anak di desa-desa NTB, tetapi bahkan berani mendatangi keluarga yang diketahui akan menikahkan anak perempuannya pada usia dini.
“Kalau saran saya.. sekolahkan dulu anaknya. Kita butuh ijazah bukan buku nikah! Sekolahkan dia setinggi-tingginya, jangan seperti saya. Dulu sebenarnya orang tua saya ingin saya sekolah, tetapi keadaan berkata lain, saya harus mengikuti tradisi dan adat di desa saya. Ijazah lebih penting untuk masa depan, tapi buku nikah gampang saja. Bahkan kalau sudah S1, S2, dan S3 kita bisa mendapatkan buku nikah, bahkan memilih siapa yang kawin dengan kita, bukankah begitu. Tapi kalau sekarang, jika kita butuh ijazah setelah menikah, tidak mungkin. Apalagi banyak diantara kita yang baru beberapa minggu atau beberapa bulan sudah bercerai. Bagaimana mungkin kita mendapatkan ijazah,” tukas Megawati.
Guru Datangi Keluarga yang Ingin Kawinkan Anak Perempuan
Upaya serupa juga dilakukan Dian Misastra, guru di Tegalwaru, Jawa Barat yang mendatangi rumah siswi yang diketahui akan dinikahkan. Henny Soepolo, Ketua Yayasan Cahaya Guru, suatu LSM yang memberikan pelatihan para guru, menyampaikan hal ini.
“Ada satu sekolah dasar di mana 50% siswa perempuan tidak melanjutkan ke SMP. Mereka hanya ditunggu lulus SD dan kemudian dikawinkan. Pak Dian ini datang dari satu rumah ke rumah lain, melakukan sosialisasi dengan mengajak orang tua berpikir panjang dengan pertanyaan2 antara lain : jika kamu mengawinkan anakmu, berapa mulut yang berkurang untuk diberi makan? OK berkurang satu.
Tapi kalau anakmu cerai – karena memang angka perceraian tinggi – lalu anakmu pulang kembali ke rumah, maka berapa mulut yang kini harus diberi makan? Cukup anakmu saja atau anakmu plus cucumu? Jadi berapa uang yang kamu habiskan. (Argumen) Ini jadi lebih make sense. Yang menarik dengan pendekatan dari rumah ke rumah ini, pada tahun 2011 sudah 100 persen anak di SD di mana Pak Dian ini mengajar, akhirnya anak perempuan melanjutkan pendidikan ke SMP.
Artinya orang tua bisa jadi terbiasa mengambil jalan pintas tanpa berpikir panjang. Mereka tidak berpikir bahwa kalau anak perempuannya dikawinkan, tidak saja berpotensi berkurangnya jumlah mulut yang dikasih makan, tetapi juga berpotensi anak bercerai dan pulang dengan membawa cucu sehingga justru bertambah mulut yang diberi makan. Pendekatan ini menarik dan saya kira seharusnya bisa menjadi gerakan bersama," ujar Henny.
?"Ibu Nyai’’ Pasang Badan Lindungi Anak Perempuan yang akan Dikawinkan
Pendekatan serupa juga dilakukan di Lombok dan Madura. Aktivis perempuan yang juga peneliti gender dan Islam, serta pendiri ‘’Rumah Kita Bersama’’ atau kerap disebut ‘’Rumah Kitab’’, Lies Marcoes-Natsir menyampaikan hal ini.
“Di Lombok, di Madura dan beberapa daerah lain, “Ibu Nyai” (istri kiai yang memimpin suatu pesantren) bisa menjadi orang yang pasang badan ketika berhadapan dengan kultur dan orang tua yang memaksa anak untuk kawin. Ibu Nyai yang bernegosiasi dengan orang tua di setiap semester, ketika mereka datang untuk menjemput anaknya dari pesantren. Ketika mereka menjemput, Ibu Nyai biasanya sudah curiga bahwa “pasti anak akan dikawinkan”.
"Nah si Ibu Nyai ini kemudian tidak saja bernegosiasi dengan orang tua, tetapi juga dengan komunitas masyarakat di mana orang tua berada, yang mengkondisikan kawin anak itu. Bagusnya di pesantren – dan berbeda dengan sekolah umum – biasanya di akhir negosiasi, jika si Ibu Nyai “kalah”, ia akan mengijinkan anak dijemput untuk dikawinkan, tetapi mendesak supaya anak diijinkan kembali lagi untuk menyelesaikan pendidikannya.
Artinya sang anak tetap bisa melanjutkan sekolah. Ini masih lebih baik karena biasanya masalah utama yang dihadapi anak yang dikawinkan muda itu adalah mereka jadi berhenti sekolah. (Berarti pesantren dalam hal ini jauh lebih moderat dibanding sekolah umum karena tetap mau menerima kembali anak-anak untuk bersekolah meski sudah dikawinkan?) Betul! Karena otoritanya ada pada Ibu Nyai dan Kyai di pesantren. Pertanyaannya kini adalah berapa besar kapasitas yang dimiliki para tokoh ini untuk mencegah perkawinan anak? Berapa banyak anak yang bisa ia lindungi setiap tahun?," tutur Lies panjang.
Misi Misiyah, Henny Soepolo dan Lies Marcoes-Natsir tidak menunggu pemerintah. Itikad serius untuk mengakhiri masalah perkawinan anak mendorong mereka menemukan cara dan metode beragam untuk menyelesaikan isu ini, langsung di daerah-daerah dengan tingkat perkawinan anak tertinggi di Indonesia.
Artikel ini pernah tayang di voaindonesia.com dengan judul Korban Kawin Anak: “Kami Butuh Ijazah, Bukan Buku Nikah”
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR