Para prajurit di Papua Nugini menyimpan tulang paha ayah mereka yang sudah mati sebagai ornamen hingga belati yang digunakan untuk melukai, membunuh dan menguliti musuh.
Namun, mengapa mereka memilih menggunakan tulang manusia? Padahal, ada belati dari tulang burung seperti kasuari yang mudah ditangkap?
Para ahli menduga, ada kaitan antara tulang manusia itu dengan simbolisme.
(Baca juga: Kisah \'Walanda Sunda\' di Kampung Albino Ciburuy)
Pada Rabu lalu, studi yang tak biasa menyimpulkan bahwa tulang paha manusia sebenarnya tidak dibuat untuk belati, namun lebih dijadikan sebagai simbol martabat.
Ini dapat disimpulkan dari fakta yang menunjukkan bahwa belati tulang manusia didesain dengan cara yang berbeda dari tulang burung.
Nathaniel Dominy dan timnya dari Dartmouth College membandingkan kekuatan tulang kering burung kasuari dengan paha manusia. Keduanya sama-sama cocok untuk dijadikan senjata. Namun, belati dari tulang manusia dirancang untuk bertahan lebih lama.
“Belati dari tulang manusia lebih kuat karena bentuknya sedikit berbeda – ia memiliki lengkungan yang lebih besar,” kata Dominy.
“Kami yakin lengkungan itu dibuat dengan sengaja untuk meminimalkan peluang patahnya belati selama pertempuran. Dan mengapa mereka berupaya menghindari risiko patah adalah karena belati dari tulang manusia tersebut mengandung nilai sosial yang tinggi,” paparnya.
Belati dari tulang paha manusia termasuk langka karena tidak semua orang bisa membuatnya. Belati itu harus berasal dari tulang paha seorang ayah atau anggota komunitas yang sangat dihormati.
Bertarung sampai mati
Belati itu digunakan sampai abad ke-20 pada pertarungan tangan. Ia didesain untuk menusuk lawan di bagian leher, baik untuk membunuhnya langsung atau menghabisi mereka yang sudah terluka karena panah atau tombak.
(Baca juga: Potret Para Pengantin Anak yang Terlupakan di India)
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | hera sasmita |
KOMENTAR