Pembangunan Hulhumalé dilakukan pada tahun 1997. Pengerukan besar-besaran jutaan ton pasir dilakukan untuk mengisi dua laguna dangkal yang berdekatan. Laguna ini pun jadi daratan baru.
“Dua pertiga dari populasi dapat tinggal di dua pulau utama ini,” kata Ismail Shan Rasheed, ahli strategi perencanaan di Hulhumalé Development Corporation.
Hulhumalé adalah fantasi urbanis. Taman dan apartemen, masjid dan toko, taman dan trotoar, sekolah dan jalan. Semuanya dibangun di tempat yang terasa seperti kota tepi laut yang tertata rapi. Hulhumalé terhubung ke Malé pada tahun 2018 oleh jembatan sepanjang 1,6 km.
Rasheed sendiri pindah ke Hulhumalé pada tahun 2013, dari sebuah apartemen sempit di Malé. Di sana, anak-anaknya tidak memiliki ruang untuk bermain di luar dan asap knalpon memperburuk asma si Bungsu. Dia mencari taman umum, ruang hijau, dan udara segar dari kota yang direncanakan.
Baca Juga: Studi Baru: Suhu Laut Semakin Panas Jadi Indikator Perubahan Iklim
Di fase pertama dan kedua pembangunannya, Hulhumalé terasa seperti kota laut yang tertata rapi. September lalu, Aishah Moosa pindah ke bagian terbaru dari Hulhumalé. Di bagian itu, 16 blok menara 24 lantai dikelilingi oleh bukit kerikil, tempat parkir mobil setengah jadi dan tumpukan sampah.
Setiap menara adalah rumah bagi banyak orang dari beberapa pulau. “Ada begitu banyak orang yang tinggal di sini, kami tidak mengenal tetangga di sekitar sini,” tuturnya.
Sayangnya, pulau baru tidak bisa menjadi pengganti komunitas yang hidup seperti di tempat tinggal mereka sebelumnya. Di sisi lain, Hulhumalé memiliki sarana pendidikan dan kesehatan, hal yang sulit diperoleh di pulau lain.
Masyarakat menghadapi masalah perkotaan yang juga dialami negara-negara besar dan terkurung daratan. Ini bertentangan dengan citra Robinson Crusoe tentang keindahan Maladewa yang digaungkan oleh industri pariwisata. Pariwisata dan uang dihasilkan dari sektor tersebut mendorong perkembangan pesat resor eksklusif dan pertumbuhan eksplosif Malé. Kota ini berdiri di atas lahan kurang dari 1,6 km persegi, tetapi menjadi rumah bagi 193.000 orang. Maka tidak heran jika Malé menjadi salah satu kota terpadat di dunia.
Namun di antara beberapa masalah yang muncul, penduduknya berharap kota baru ini dapat menyediakan sekolah dan lapangan pekerjaan. Maladewa sendiri memiliki tingkat pengangguran mencapai 15 persen.
“Kami berkembang seperti pesat, seperti sebuah bom!” tutur Fayyaz Ibrahim. Pemilik toko selam berusia pertengahan lima puluhan ini masih ingat jalanan yang sepi dengan sedikit mobil. Saat itu keluarganya baru pindah ke kota pada tahun 1974. Mereka pindah untuk mencari pekerjaan, sekolah, dan fasilitas yang lebih baik. Saat pariwisata lepas landas, dunia modern merayap masuk dengan kecepatan yang memusingkan. Pembangunan perkotaan yang membutuhkan waktu berabad-abad diselesaikan dalam kurun waktu beberapa dekade saja.
Saat ini, jalan-jalan sempit Malé dipenuhi dengan skuter. Gedung-gedung semakin tinggi, dilengkapi dengan pendingin udara. Generator diesel seukuran gudang menjaga listrik tetap menyala; air desalinasi industri mengalir dari keran. Sampah dimuat ke tongkang dan dibuang di pulau terdekat. Beton pemecah ombak ditumpuk di pantai untuk menahan laut di teluk. Malé berada dalam kondisi konstruksi yang berkelanjutan.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR