Nationalgeographic.co.id—Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas jadi perbincangan akhir-akhir ini perihal edarannya untuk mengatur pengeras suara masjid. Dia tidak melarang penggunaan alat pengeras suara pada masjid karena memang menjadi wadah menyebar siar Islam.
Surat Edaran Menteri Agama Nomor: 5/2022 mengatur agar pelantang masjid yang berkumandang, maksimal 100 desibel. Tujuannya, menciptakan lingkungan kondusif dari polusi suara. Namun, peraturan ini memunculkan tanggapan beragam dari masyarakat.
Sebagian menyambut aturan ini dan memberi masukan untuk memperbaikinya, sementara sebagian lainnya menolak karena ukuran ini dinilai bisa membuat suara azan tidak terdengar, atau harus lebih keras lagi.
Mengenai polemik pengeras suara masjid sudah ada sejak lama. Salah satunya pada 2016, Meliana di Tanjung Balai, Sumatra Utara yang sempat memprotes suara azan di Masjid Al Maksum yang mengganggunya.
Dia meminta agar volume suara pengeras suaranya untuk diturunkan, tetapi dia malah didatangi massa karena dianggap menistakan agama. Imbasnya, massa malah membakar Vihara dan Klenteng.
Jeanny Dhewayani dari Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) bersama tim membuat risalah penelitian bertajuk Voice vs noise, technology-mediated sound in interfaith dialogue pada 2016.
Jeanny mengungkap, suara-suara dari rumah ibadah dipersepsikan oleh masyarakat antaragama sebagai "kesalehan, instrumen suci bagi agama yang digunakan untuk membangun dan memperdalam spiritualitas keagamaan." Respon ini didapati dari kelompok masyarakat yang hidup secara beragam di Yogyakarta dan sekitarnya, tulisnya.
Bagi kelompok muslim, dalam makalah itu, lagu-lagu kristiani yang dihasilkan dari gereja terdengar sebagai "lagu yang indah", selama saat dikumandangkan volumenya tidak merusak keharmonisan. Sementara bagi umat kristiani menilai azan dan zikir dari masjid juga tidak mengganggu "selama tidak melibihi batas pendengaran orang".
Begitu pula respon terhadap suara-suara dari rumah ibadah lain seperti Vihara, Pura, dan Klenteng, yang didapatkan oleh tim.
"Ibaratnya seperti acara hajatan di lingkungan kita," ujar Jeanny kepada National Geographic Indonesia. "Kita terbiasa dengan kegiatannya yang ada, dari alunan musik, dan suara-suara di dalam acaranya, selama itu tidak mengganggu pada batas pendengaran kita."
Lantas bagaimana memandang berisik atau kecilnya suara dari rumah ibadah, sementara masing-masing kita secara psikologi dan penilaian bisa berbeda-beda untuk menilai suara?
"Banyak orang yang membicarakan polusi udara, tapi sedikit yang membahas polusi suara," lanjut Jeanny.
Polusi suara bisa diukur secara objektif lewat skala desibel. Desibel yang terlalu tinggi tidak hanya sekadar mengganggu pendengaran kita, tetapi juga hewan. Beberapa hewan mengandalkan kesunyian untuk keberlangsungan hidupnya.
Kini, beberapa hewan laut merasa kebisingan akibat aktivitas yang dilakukan manusia sehingga mereka menjauh untuk mencari perairan yang sunyi, seperti yang dikabarkan National Geographic Indonesia November 2021.
Baca Juga: Kesunyian yang Dirindukan Hewan Laut Terganggu Karena Kebisingan Kita
Baca Juga: Benarkah Ateis Tidak Bermoral Seperti Layaknya Umat Beragama?
Baca Juga: Kaum Ateis dan Agnostik di Indonesia Dibayangi Hantu-hantu Stigma
Menurut Jeanny, bising atau tidaknya suara menurut orang berbeda-beda (subjektif) karena berbagai faktor, mulai dari psikologis seseorang hingga lingkungan sekitar asal suara. Misal, pengeras suara ibadah akan terdengar kecil di lingkungan sibuk seperti pelabuhan karena beradu dengan suara lainnya, tetapi akan terdengar sangat besar ketika malam hari yang sunyi.
Perihal rumah ibadah, masjid punya peraturannya sendiri bagaimana pengeras suara digunakan. Dewan Masjid Indonesia (DMI) mengontrol dan menyinkronkan suara seperti azan, shalawatan, zikir, dan lain-lain. Kontrol seperti ini juga terjadi pada lembaga-lembaga gereja, vihara, dan pura, untuk batas tertentu untuk menyeimbangkan suara.
Namun, beberapa tempat tampaknya mengidahkan kontrol ini sehingga bersuara lebih lantang atau berbunyi di waktu yang lebih awal dari semestinya, salah satunya kumandang pengeras suara dari masjid yang jauh lebih awal dari azan subuh.
Padahal, para peneliti menjelaskan, setiap agama punya pedoman dalam kitab sucinya mengenai penggunaan waktu dan suara, seperti malam untuk beristirahat dan sebagainya.
Jeanny merujuk pada peraturan batas kebisingan suara yang dilakukan di negara lain yang disarankan bisa jadi bahan pertimbangan untuk mengatur suara rumah ibadah di Indonesia.
Contohnya, di Uni Emirat Arab terdapat kebijakan yang mengatur batas bising tiap lingkungan berbeda. Peraturan itu mengatur, area reseptor perumahan dengan lalu lintas ringan diperbolehkan menghasilkan kebisingan 40-50 desibel di pagi hari, dan 30-40 di malam hari, dan 60-70 desibel dan 50-60 deseibel untuk kawasan industri.
Mengenai surat edaran Menag Yaqut, Jeanny menyarankan sebaiknya peraturan batas suara tidak hanya berlaku pada satu rumah ibadah saja (masjid). "Tidak hanya masjid saja yang menghasilkan suara, beberapa rumah ibadah juga menghasilkan suara agar bisa diratakan untuk semuanya," ujar Jeanny.
Peraturan seharusnya ditujukan untuk semua rumah ibadah, yang berguna menyeimbangkan suara dengan batasan suara di tempat yang beragam kebisingannya, demikian simpulnya.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR