Nationalgeographic.co.id—Kutang adalah pakaian dalam perempuan untuk menutupi payudara. Bagiannya terdiri atas kain berbentuk mangkuk, tali bahu, ban berkerut untuk menyangga dada. kata "kutang" mungkin sudah jarang dijumpai dalam pergaulan. Kini, orang-orang lebih lazim menyebutnya dengan bra.
Sejatinya penggunaan kutang masih tabu di kawasan Nusantara sebelum abad ke-20. Sekitar 1920, barulah perempuan-perempuan Eropa mulai memperkenalkan buste-houder (penyangga payudara), yang kemudian akrab dengan sebutan BH. Busana inilah yang memengaruhi mode bagi perempuan pribumi.
"Hingga awal abad ke-19 di daerah Jawa masih banyak penduduk wanita yang bertelanjang dada. Mereka hanya memakai penutup di bagian bawah," tulis Nurlatifah Syari.
Dia menulis dalam tugas akhirnya untuk Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Boga dan Busana, Universitas Negeri Yogyakarta, dengan judul Kostum Tari Indhel dengan Sumber Ide Kutang Suroso. Penelitian ini diselesaikan pada 2011.
Remy Silado, sastrawan Indonesia, berkisah dalam novel fiksinya bertajuk Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil, yang diterbitkan Penerbit Tiga Serangkai, 2007. Bermula dari adegan pembangunan proyek jalan yang menghubungkan kota-kota di Jawa atas prakarsa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Proyek pembangunan jalan dari Anyer sampai Panarukan itu melibatkan seorang pembantu setia Daendels berkebangsaan Prancis-Spanyol, bernama Don Lopez comte de Paris—tokoh fiksi juga.
Remy berkisah, seringkali ada kejadian yang tak menyenangkan selama proyek. Kebanyakan petugas lapangan berbuat nakal tatkala melihat para pekerja wanita bumiputera tak mengenakan pelindung payudara.
"Coutant! (penutup payudara)," ujar Don Lopez berbicara dengan bahasa Prancis kepada para pekerja proyek wanita untuk menutupi bagian berharganya. Mereka mulai menyobek kain-kain putih untuk menutup bagian payudara yang kemudian dikenal sebagai 'kutang' sampai saat ini. Demikian Remy berkisah.
Namun, kita menjumpai kata "coutant" dalam kamus bahasa Prancis yang bermakna "kontan" alih-alih "kutang".
Sejak kapan kita menggunakan kata kutang?
Kapan kata kutang dipakai di Indonesia, sejauh ini belum ada catatan yang menunjukkan waktu persisnya. Namun, kata "kutang" diyakini merupakan serpan dari bahasa Portugis "cotao" yang sejatinya merujuk kain halus yang dibuat dengan kapas atau linen. Rujukan ini bersumber dari Paramita R. Abdurachman dalam bukunya Bunga Angin Portugis di Nusantara, yang terbit atas dukungan Asosiasi Persahabatan dan Kerjasama Indonesia-Portugal. Buku ini diterbitkan LIPI PRESS dan Buku Obor pada 2008. Artinya kata ini sudah memperkaya bahasa Melayu sejak 500 tahun silam.
Kita barangkali tidak menyangka, begitu banyak pengaruh Portugis dalam budaya Nusantara. Kita dan Portugis lebih dekat dari yang kita kira. Sampai-sampai urusan pakaian dalam pun kita menyerap bahasa mereka.
Sejarah kutang modern
Dilansir dalam jurnal Advances in Human Factors and Ergonomics 2012, Felipe bersama dengan tim menyebut bahwa kutang menjadi mode pakaian baru bagi wanita sekaligus sebagai simbol kebebasan. Ia menulis dalam jurnal berjudul Breast Design: The role of ergonomic underwear during lifetime yang terbit pada tahun 2012.
Mary Phelps Jacob atau populer dengan Caresse Crosby adalah orang pertama yang memegang hak paten tentang kutang di tahun 1913. Meskipun bukan yang pertama, namun namanya sohor sebagai pencipta kutang karena patennya tersebut.
Kutang hadir menggantikan korset yang membatasi ruang gerak pemakainya, sedang kutang semakin digemari karena memberi kebebasan dalam bergerak. "Hal itu juga mempengaruhi wanita dalam kebebasan berpikir dan bersikap," tulisnya.
Kutang Indonesia
Perkembangan kutang terus berlanjut di Hindia Belanda. Kutang menjadi budaya kaum wanita bumiputra yang berlanjut sampai zaman baru kemerdekaan. Beberapa tahun setelah Indonesia merdeka, mulai dikenal secara luas jenis kutang baru yang dikenal dengan kutang Suroso.
Kutang Suroso merupakan pakaian dalam wanita yang populer hingga masa kemerdekaan Republik Indonesia. "Kutang Suroso merupakan bentuk pengembangan pertama dari kutang di Indonesia," imbuh Sulistiyoningrum.
Penamaan kutang Suroso diperkirakan berasal dari nama Bapak Suroso yang populer pada 1960, setelah berhasil memproduksi kutang yang digandrungi banyak wanita di pelosok Yogyakarta dan Jawa Tengah. Kini, sentra pembuatan kutang Suroso di Juwirig, Klaten, Jawa Tengah.
Persebarannya terjadi di zaman Indonesia memasuki era revolusi, mengiringi tumbuhnya industri kutang Suroso di Pulau Jawa kala itu.
"Bentuk dasar kutang merupakan bentuk pakaian yang tertua, bahkan sebelum orang mengenal adanya kain lembaran yang berupa tenun, orang sudah mengenal bentuk pakaian ini," jelasnya.
Bentuk kutang Suroso menyerupai silinder atau pipa tabung yang berasal dari kulit kayu yang dipukul–pukul sedemikian rupa sehingga kulit tersebut terlepas dari batangnya. Kemudian digunakan untuk menutupi tubuh dari bawah ketiak sampai panjang yang diinginkan.
Sampai menjelang 1980-an, kutang Suroso lebih banyak dikenakan oleh wanita-wanita lanjut usia. "Penggunaan bagi mbah-mbah (nenek-nenek dalam bahasa Jawa) dalam memakai kutang suroso dengan alasan nyaman dipakai," tulis Sulistiyoningrum.
Hal yang paling khas dari kutang Suroso adalah bagian kancing yang terletak di bagian muka, jauh berbeda dengan kutang atau BH kontemporer dan modern.
Keberadaan kancing atau pengait kutang di bagian depan, memudahkan para mbah-mbah untuk menggapainya. Inilah juga yang biasanya dikeluhkan para wanita lanjut usia yang kerap terkilir saat akan merengkuh pengait yang biasanya ada di bagian punggung.
Mode memiliki dinamikanya sendiri. Apabila pandangan kita tentang kutang Suroso hanya merujuk pada perempuan-perempuan sepuh, tampaknya tidak sepenuhnya tepat.
Fitri Astuti, seorang perempuan muda yang gemar berkebaya saat bekerja di kantornya di Kota Yogyakarta. Dia juga berminat pada kajian sejarah dan budaya, khususnya perempuan. Soal kutang Suroso, dia menuturkan pendapat dan pengalamannya kepada National Geographic Indonesia.
Menurutnya, orang-orang yang menggemari barang-barang lawasan pasti memiliki alasannya masing-masing. Kegemaran itu bisa muncul karena sejarah, dimensi sosial dari barang itu. Atau, Fitri menambahkan, "sensasi mengalami ruang ambang antara masa lalu dan saat ini."
"Benda-benda lawas itu merupakan medium yang bisa membantu mengantar mereka masuk ke situasi masa lalu," kata Fitri. "Masa lalu yang tidak dialami itu sangat abstrak. Sesuatu yang abstrak akan lebih mudah dirasakan kalau ada medium pengantarnya."
Jadi, atas alasan sensasi ruang ambang itulah Fitri mengoleksi kutang Suroso. Baginya kutang Suroso menjelma sebagai medium pengantar. Dia ingin mengetahui dan merasakan bagaimana menjadi perempuan masa silam. "Dengan mengenakan kutang soroso saya ingin mengalami masa lalu dari sensor kulit dan penampakan visualnya di tubuh saya," ujarnya, "serta sensasi yang ditimbulkan karena kedua hal tersebut."
Fitri mengatakan bentuk kutang Suroso begitu khas. Penutup payudara ini memperlihatkan belahan dada demikian rendah. Bagian bawah dada lebih panjang dari bra modern, sehingga sebagian perut tertutup. Kombinasi antara yang terbuka dan tertutup ini juga menarik, demikian imbuhnya.
"Payudara kan selain punya fungsi biologis sebagai bagian tubuh makhluk mamalia—manusia termasuk di dalamnya—juga merupakan organ rekreatif atau kesenangan," ujarnya.
Dia menambahkan, umumnya, payudara merupakan salah satu daya tarik seksual bagi pria dan sekaligus bagian dari titik sensual bagi perempuan itu sendiri. "Kutang Suroso bisa mengakomodasi kedua hal itu, menutup payudara sebagai organ tubuh yang perlu dilindungi dan memberi daya tarik sensual."
Menurut pengalamannya, kutang Suroso bisa menutup payudara dengan baik, tetapi tidak bisa menopang payudara sungguh-sungguh.
Lalu apa alasan dia gemar mengenakannya? "Kutang Suroso merupakan medium bagi saya untuk bisa mengalami sensasi menjadi perempuan zaman dulu."
Baca Juga: Arkeolog Temukan Bra Berumur 600 Tahun, Ternyata Mirip Versi Modern
Baca Juga: Menilik Gaya Berbusana Jawa Kuno, Melalui Relief Karmawibhangga
Baca Juga: Johanna Bezoet de Bie, Kreol Belanda Kaya Yang Mencintai Busana Jawa
Evy Sofia, penulis novel dan pemilik Reina Store yang memasarkan kutang Suroso secara daring, menuturkan pengalamannya menjual busana dalam ini sejak 2020. Sebagai warga Surakarta, Jawa tengah, awalnya dia menganggap kutang semacam ini sungguh biasa, tidak ada keistimewaannya.
"Sebagai orang yang pernah tinggal di desa, pemandangan old lady alias simbah-simbah memakai kotang suroso dipadukan dengan jarik sungguh lazim terlihat," ungkap perempuan berkerudung ini di akun media sosialnya.
Keseharian perempuan Jawa lekat dengan kutang ini. Evy menuturkan, perempuan hanya mengenakan kutang dan kain bawahan saja ketika mengerjakan pekerjaan rumah sehari-hari—dari menyapu halaman, mencari kutu, menjemur karak, sampai momong cucu.
Namun, Evy begitu heran ketika hari ini masih banyak orang yang berminat pada kutang Suroso. Menurutnya, pembeli kutang Suroso mayoritas adalah "para perempuan modis yang fashionable". Kemudian dia melanjutkan, "Serius. Tidak ada bayangan mereka akan memakainya sambil menjemur gabah atau cethik geni di dapur."
Mengapa perempuan modern masih berminat mengenakan kutang awal abad ke-20?
"Jawabannya simpel," ungkap Evy. "Kearifan lokal yang dipadukan dengan kemampuan memasarkan insyaallah akan menghasilkan ledakan dahsyat. Mengubah mindset kotang suroso dari kekunoan menjadi kekinian itu tantangan besar."
Dalam sebuah unggahan iklan dagangannya di media sosial, Evy menyisipkan kata-kata yang menggelitik sekaligus provokatif: "Aku tanpamu bagai payudara tanpa kotang suroso. Terombang-ambing."
Artikel ini telah ditambahkan fakta baru dan disunting kembali pada 8 Juli 2022.
Source | : | E-prints UNY |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR