Bentuk kutang Suroso menyerupai silinder atau pipa tabung yang berasal dari kulit kayu yang dipukul–pukul sedemikian rupa sehingga kulit tersebut terlepas dari batangnya. Kemudian digunakan untuk menutupi tubuh dari bawah ketiak sampai panjang yang diinginkan.
Sampai menjelang 1980-an, kutang Suroso lebih banyak dikenakan oleh wanita-wanita lanjut usia. "Penggunaan bagi mbah-mbah (nenek-nenek dalam bahasa Jawa) dalam memakai kutang suroso dengan alasan nyaman dipakai," tulis Sulistiyoningrum.
Hal yang paling khas dari kutang Suroso adalah bagian kancing yang terletak di bagian muka, jauh berbeda dengan kutang atau BH kontemporer dan modern.
Keberadaan kancing atau pengait kutang di bagian depan, memudahkan para mbah-mbah untuk menggapainya. Inilah juga yang biasanya dikeluhkan para wanita lanjut usia yang kerap terkilir saat akan merengkuh pengait yang biasanya ada di bagian punggung.
Mode memiliki dinamikanya sendiri. Apabila pandangan kita tentang kutang Suroso hanya merujuk pada perempuan-perempuan sepuh, tampaknya tidak sepenuhnya tepat.
Fitri Astuti, seorang perempuan muda yang gemar berkebaya saat bekerja di kantornya di Kota Yogyakarta. Dia juga berminat pada kajian sejarah dan budaya, khususnya perempuan. Soal kutang Suroso, dia menuturkan pendapat dan pengalamannya kepada National Geographic Indonesia.
Menurutnya, orang-orang yang menggemari barang-barang lawasan pasti memiliki alasannya masing-masing. Kegemaran itu bisa muncul karena sejarah, dimensi sosial dari barang itu. Atau, Fitri menambahkan, "sensasi mengalami ruang ambang antara masa lalu dan saat ini."
"Benda-benda lawas itu merupakan medium yang bisa membantu mengantar mereka masuk ke situasi masa lalu," kata Fitri. "Masa lalu yang tidak dialami itu sangat abstrak. Sesuatu yang abstrak akan lebih mudah dirasakan kalau ada medium pengantarnya."
Jadi, atas alasan sensasi ruang ambang itulah Fitri mengoleksi kutang Suroso. Baginya kutang Suroso menjelma sebagai medium pengantar. Dia ingin mengetahui dan merasakan bagaimana menjadi perempuan masa silam. "Dengan mengenakan kutang soroso saya ingin mengalami masa lalu dari sensor kulit dan penampakan visualnya di tubuh saya," ujarnya, "serta sensasi yang ditimbulkan karena kedua hal tersebut."
Fitri mengatakan bentuk kutang Suroso begitu khas. Penutup payudara ini memperlihatkan belahan dada demikian rendah. Bagian bawah dada lebih panjang dari bra modern, sehingga sebagian perut tertutup. Kombinasi antara yang terbuka dan tertutup ini juga menarik, demikian imbuhnya.
"Payudara kan selain punya fungsi biologis sebagai bagian tubuh makhluk mamalia—manusia termasuk di dalamnya—juga merupakan organ rekreatif atau kesenangan," ujarnya.
Dia menambahkan, umumnya, payudara merupakan salah satu daya tarik seksual bagi pria dan sekaligus bagian dari titik sensual bagi perempuan itu sendiri. "Kutang Suroso bisa mengakomodasi kedua hal itu, menutup payudara sebagai organ tubuh yang perlu dilindungi dan memberi daya tarik sensual."
Menurut pengalamannya, kutang Suroso bisa menutup payudara dengan baik, tetapi tidak bisa menopang payudara sungguh-sungguh.
Lalu apa alasan dia gemar mengenakannya? "Kutang Suroso merupakan medium bagi saya untuk bisa mengalami sensasi menjadi perempuan zaman dulu."
Source | : | E-prints UNY |
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR