Baca Juga: Memasak Bertungku Kayu Bakar Meningkatkan Risiko Penyakit Mata
Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Polusi Perkotaan Memproduksi Ozon Beracun
Baca Juga: Lelakon Rumphius di Ambon: Kebutaan, Korban Gempa, Sampai Kebakaran
Dalam budaya potlatch, kepala suku yang menyelenggarakan bersumbar kepada mereka yang diundang dengan berkata, “Akulah satu-satunya pohon besar. Bawalah penghitung hartamu hingga sia-sia dia mencoba menghitung harta yang akan dibagikan,” setelah itu, pengikut si kepala suku meminta para tamu untuk diam dengan memberi peringatan, “jangan berisik, kaum sekalian. Diamlah atau kami akan menciptakan longsoran harta dari kepala suku kami, gunung penuh harta.”
Pada beberapa penyelenggaraan potlatch, barang-barang berharga yang telah disiapkan tidak diberikan kepada tamu, melainkan dihancurkan. Bahkan, tak sedikit dari kepala suku yang membakar rumahnya.
“apinya menyulut bilah-bilah papan di langit-langit dan seluruh rumah terbakar menjadi sesaji potlatch, hal ini membuat para tamu merasa amat malu semetara tuan rumah bersorak-sorai girang.”
Terlepas dari dorongan potlatch yang sangat kompetitif, menurut Harris, secara adat budaya ini berfungsi untuk memindahkan pangan dan barang berharga lain dari pusat-pusat produktivitas tinggi ke desa-desa yang kekurangan.
“Secara adat, potlatch berarti tiap tahun yang berpunya memberi dan yang kekurangan mengambil,” ujar Harris.
Satu pihak dapat terus mengambil barang-barang pemberian dari para penyelenggara potlatch tanpa rasa malu. Meskipun demikian, menurut Harris jika diantara tamu terus menjadi sang penerima, si pemberi akan menggerutu dan bergunjing.
“Jika situasinya tidak berubah, orang-orang mulai curiga bahwa si penerima dirasuki roh jahat atau mempraktikan sihir,” terang Harris.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR