Nationalgeographic.co.id—Budaya yang aneh. Beberapa suku di Benua Amerika rela membakar rumah mereka sendiri demi mendapatkan pengakuan dari orang-orang di sekitarnya!
Sebagian orang tampaknya mendambakan pengakuan dari orang lain demi memenuhi hasrat prestise. Terkadang, demi mendapatkan pengakuan dari orang lain, seseorang menghalalkan segala cara untuk mencapainya.
Dalam buku Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir karya Marvin Harris, menceritakan budaya Potlatch yang terjadi di beberapa daerah. Tujuan dari budaya ini adalah membagi-bagikan atau menghancurkan harta lebih banyak dari pesaingnya.
Harris menjelaskan, pada abad ke-20 para antropolog dikagetkan saat mendapati suku-suku primitif tertentu yang memiliki perilaku konsumtif, "pemborosan jor joran oleh suatu suku yang bahkan tidak dapat disamai oleh perekonomian konsumtif modern yang paling boros sekalipun."
Mereka bersaing antara satu sama lain bak olimpiade demi suatu pengakuan. Biasanya mereka menyelenggarakan kenduri-kenduri mewah dengan berbagai hidangan di dalamnya. "Sebuah kenduri akan berhasil jika para tamunya bisa makan sampai kekenyangan, terhuyung-huyung ke semak belukar, merogohkan jari ke dalam tenggorokan, muntah, lalu kembali untuk makan lagi," ungkap Harris.
Pencarian status melalui potlatch ditemukan di daerah Pantai Alaska Selatan, British Columbia, dan Washington, saat ditinggali oleh orang Indian Amerika. Bagi seorang kepala suku yang kuat, dirinya berusaha untuk mempermalukan para pesaingnya dan memperoleh kekaguman tiada habis dari para pengikutnya.
Harris menyampaikan bahwa Tindakan yang biasanya dilakukan oleh kepala suku adalah dengan menghancurkan makanan, pakaian, dan uang.“Sesekali bahkan dirinya mencari prestise dengan membakar habis rumahnya sendiri,” ujar Harris.
Bagi masyarakat Kwakiutl yang tinggal di Pulau Vancouver, British Columbia, dahulu potlatch menjadi bagian dari gaya hidup untuk mendapatkan prestise. Seorang kepala suku Kwakiutl tidak pernah merasa puas dengan jumlah penghormatan yang dia dapatkan dari pengikutnya dan para kepala suku tetangga. Dirinya selalu gelisah dengan statusnya.
Harris mengungkapkan, Kepala suku Kwakiutl menggelar potlatch untuk mendapatkan validasi bahwa dirinya pantas mendapatkan gelar yang diemban dari orang-orang sekitarnya. Guna membuktikan hal itu, kepala suku tuan rumah memberikan banyak hadiah berharga kepada kepala suku pesaing dan pengikutnya
“para tamu akan merendahkan apa yang mereka terima dan bersumpah untuk mengadakan potlatch balasan dimana kepala suku mereka sendiri akan membuktikan bahwa dia lebih jaya dibanding tuan rumah yang sekarang, dengan membagi-bagi hadiah yang lebih berharga dan banyak,” tambahnya.
Baca Juga: Memasak Bertungku Kayu Bakar Meningkatkan Risiko Penyakit Mata
Baca Juga: Kebakaran Hutan dan Polusi Perkotaan Memproduksi Ozon Beracun
Baca Juga: Lelakon Rumphius di Ambon: Kebutaan, Korban Gempa, Sampai Kebakaran
Dalam budaya potlatch, kepala suku yang menyelenggarakan bersumbar kepada mereka yang diundang dengan berkata, “Akulah satu-satunya pohon besar. Bawalah penghitung hartamu hingga sia-sia dia mencoba menghitung harta yang akan dibagikan,” setelah itu, pengikut si kepala suku meminta para tamu untuk diam dengan memberi peringatan, “jangan berisik, kaum sekalian. Diamlah atau kami akan menciptakan longsoran harta dari kepala suku kami, gunung penuh harta.”
Pada beberapa penyelenggaraan potlatch, barang-barang berharga yang telah disiapkan tidak diberikan kepada tamu, melainkan dihancurkan. Bahkan, tak sedikit dari kepala suku yang membakar rumahnya.
“apinya menyulut bilah-bilah papan di langit-langit dan seluruh rumah terbakar menjadi sesaji potlatch, hal ini membuat para tamu merasa amat malu semetara tuan rumah bersorak-sorai girang.”
Terlepas dari dorongan potlatch yang sangat kompetitif, menurut Harris, secara adat budaya ini berfungsi untuk memindahkan pangan dan barang berharga lain dari pusat-pusat produktivitas tinggi ke desa-desa yang kekurangan.
“Secara adat, potlatch berarti tiap tahun yang berpunya memberi dan yang kekurangan mengambil,” ujar Harris.
Satu pihak dapat terus mengambil barang-barang pemberian dari para penyelenggara potlatch tanpa rasa malu. Meskipun demikian, menurut Harris jika diantara tamu terus menjadi sang penerima, si pemberi akan menggerutu dan bergunjing.
“Jika situasinya tidak berubah, orang-orang mulai curiga bahwa si penerima dirasuki roh jahat atau mempraktikan sihir,” terang Harris.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR