Nationalgeographic.co.id—Pembangunan pembangkit listrik terbarukan kini digencarkan di banyak negara. Gerakan ini dilakukan sehubungan dengan emisi dari pembangkit listrik konvensional turut berperan dalam pemanasan global. Adapun yang termasuk dalam jenis konvensional adalah pembangkit listrik tenaga minyak, gas bumi, dan uap. Fasilitas ini menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber daya.
Berbeda dengan pembangkit listrik energi terbarukan yang menggunakan angin, air dan panas matahari sebagai sumber daya sehingga tidak mengeluarkan emisi karbon. Dilansir dari SciTechDaily, diperkirakan pada tahun 2030 pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) akan berkontribusi sekitar 10 persen dari jumlah keseluruhan pembangkit listrik global.
Kebanyakan dari PLTS akan berlokasi di negara-negara beriklim kering atau area gurun di mana sinar matahari melimpah. Namun, di daerah gurun, akumulasi debu yang menutupi panel surya menjadi masalah tersendiri bagi PLTS.
Situasi ini dapat mengurangi kinerja panel surya sebesar 30 persen. Maka dari itu pembersihan secara berkala sangatlah penting. Guna membersihkan panel surya, dibutuhkan sekitar 10 miliar galon air per tahun. Jumlah tersebut cukup untuk memasok air minum bagi dua juta orang.
Dua insinyur dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika Serikat tertantang untuk menyelesaikan kedua masalah tersebut. Sreedath Panat dan Kripa K. Varanasi mengembangkan cara untuk membersihkan panel surya secara otomatis. Temuan ini telah dipublikasikan pada laman Science Advances dengan judul Electrostatic dust removal using adsorbed moisture–assisted charge induction for sustainable operation of solar panels pada 11 Maret 2022.
Pada sistem baru ini hanya dibutuhkan elektroda berupa batangan logam sederhana yang digerakan melewati permukaan panel. Elektroda akan menghasilkan medan listrik yang memberikan muatan listrik pada partikel debu. Kemudian, muatan listrik berlawanan diterapkan pada lapisan konduktif transparan setebal beberapa nanometer yang disimpan pada penutup kaca panel surya untuk mengangkat partikel.
Untuk mengaktifkan sistem, elektroda sederhana bergerak tepat di atas permukaan panel surya dan memberikan muatan listrik ke partikel debu. Kemudian partikel debu yang mengandung listrik akan "ditolak" oleh muatan listrik yang terdapat di permukaan panel.
Para insinyur menjelaskan pengurangan satu persen daya pada PLTS dengan kapaditas 150 megawatt dapat mengakibatkan kerugian $200,000 atau sekitar Rp 2,8 miliar dalam satu tahun. Tidak hanya itu, secara global, pengurangan tiga hingga empat persen dalam output daya dari PLTS akan menyebabkan kerugian antara tiga sampai lima miliar dolar AS atau 43 sampai 71 triliun rupiah.
Sampai saat ini PLTS besar berlokasi di gurun yang ada di Tiongkok, India, Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat. Panel surya di sana harus dibersihkan dengan semprotan air tekanan tinggi. Tidak hanya itu, air juga harus terjaga kemurniannya agar tidak meninggalkan endapan pada permukaan panel surya.
Panel surya sebetulnya bisa dibersihkan dengan cara digosok. Hanya saja, cara ini kurang efektif untuk membersihkan permukaan dan dapat menyebabkan goresan permanen yang berakibat mengurangi transmisi cahaya.
"Pembersihan panel surya menggunakan air membuat membutuhkan 10 persen dari biaya operasi PLTS. Inovasi baru ini berpotensi mengurangi biaya sembari meningkatkan output daya secara keseluruhan dengan memungkinkan pembersihan otomatis yang lebih sering," kata profesor Teknik Mesin Institut Teknologi Massachusetts, Kripa Varanasi.
Varanasi menjelaskan penggunaan air di industri PLTS sangat mencengangkan dan jumlahnya akan meningkat seiring dengan bertambahnya fasilitas serupa. Selain itu, dia menekankan pengembang PLTS harus sangat berhati-hati dan memikirkan bagaimana membersihkan panel surya dengan air menjadi solusi yang berkelanjutan.
Source | : | SciTechDaily |
Penulis | : | Maria Gabrielle |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR