Diketahui, terdapat tiga strata calabai dalam suku Bugis. Calabai tungke'na lino, merupakan calabai yang memiliki derajat tertinggi. Paccalabai, ia dapat berhubungan dengan laki-laki dan perempuan. Calabai kedo-kedonami, golongan calabai paling bawah, sebab hanya lagak dan pakaiannya saja yang bergaya calabai, tetapi secara fisik mereka adalah laki-laki tulen.
Bissu memiliki pembagian tiga hirarki: Puang Matowa, Puang Lolo, dan Ana’Bissu. Untuk menjadi Puang Matowa yang mana merupakan kepala Bissu, seseorang harus terlebih dahulu melalui Puang Lolo. “Puang Lolo mewarisi seluruh pengetahuan dari puang matowa,” terang Jessy, ia juga mengatakan bahwa kedua Bissu tersebut dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh Ana’Bissu.
Tradisi, Agama dan Negara
Keberadaan Bissu di tengah masyarakat suku Bugis, merupakan barometer yang menunjukkan adanya keberagaman gender di tanah nusantara. Sayangnya, keberadaannya saat ini telah tergeser oleh ‘budaya baru’ yang mengusung konsep gender biner.
Tergusurnya Bissu di tanah kelahiranya sendiri disertai dengan rentetan sejarah kelam nan bengis. Jessy menunjukan, setidaknya ada beberapa faktor yang membuat keberadaan Bissu berada di titik Rentan.
Pergeseran gender plural menjadi gender biner dikarenakan masuknya agama Islam di Sulawesi Selatan pada abad ke-17. Namun, Jessy menyatakan bahwa peran Islam dalam menggeser keberagaman gender suku bugis kentara saat adanya Operasi Toba tahun 1966.
Sejarah mengatakan, bahwa Operasi Toba (Operasi Tobat) yang digerakan oleh Kahar Muzakar (DI/TII) pada tahun 1966, mengincar Bissu sebagai target operasi. Keberadaan Bissu dianggap tidak sejalan dengan ajaran islam, sebab adanya tradisi yang dianggap sesat.
“Operasi tersebut memaksa Bissu dan sanro (dukun) untuk mengubah dirinya menjadi laki-laki tulen, mereka yang menolak akan dibunuh,” tulis Jessy, “seluruh peralatan upacara dibakar dan ditenggelamkan di laut.”
Sejak Operasi Toba, para Bissu bersembunyi dari kematian, akibatnya upacara Mapallili (upacara menanam padi) tidak lagi diadakan secara besar-besaran. Orang-orang tidak berani untuk mempertahankan tradisi mereka karena takut berujung kematian.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR