Nationalgeographic.co.id—Sebagai negara majemuk, Indonesia memiliki beragam budaya yang tumbuh di dalamnya. Sayangnya pertumbuhan budaya tersebut acapkali tidak subur, alhasil ia menjadi luntur bahkan menempati peti mati.
Terdapat berbagai penyebab atas musnahnya budaya di suatu daerah, salah satunya adalah hadirnya budaya yang bersifat ‘menindas’ sehingga menggeser eksistensi kearifan lokal. Salah satu bukti penjelasan di muka, terjadi pada keragaman gender masyarakat suku Bugis, Provinsi Sulawesi Selatan.
Petsy Jessy Ismoyo, peneliti dari Indonesian Consortium for Religious Studies, Yogyakarta, melakukan studi mengenai pergeseran makna bissu sebagai gender dalam suku Bugis. Penelitian bertajuk Decolonizing Gender Identities In Indonesia: A Study Of Bissu ‘The Trans-Religious Leader’ In Bugis People, terbit dalam jurnal Paradigma Jurnal Kajian Budaya pada 2020.
Dalam kepercayaan masyarakat Bugis kuno (Attoriolong), mereka memiliki jumlah gender berbeda dengan umumnya di Indonesia saat ini (gender biner), antara lain: oroané (Pria), makkunrai (Wanita), calalai (priawan), calabai (waria), dan bissu (androgini atau interseks yang menjadi pemuka agama). Sayangnya saat ini, salah satu dari lima gender tersebut tidak lagi tumbuh sesuai pakemnya.
Menurut Jessy, keberadaan bissu sebagai pelaku spiritual masyarakat Bugis, saat ini berada di titik rentan. Adanya pergeseran makna spiritual atas istilah Bissu karena jenis kelaminnya, menjadi salah satu penyebabnya.
“Hal ini mengakibatkan tergesernya Bissu sebagai orang yang memiliki kedudukan spiritual tertinggi pada orang Bugis, menjadi orang yang memiliki perilaku menyimpang menurut pengetahuan gender biner,” tulisnya.
Kebanyakan masyarakat Bugis saat ini, memanggil Bissu dengan dengan sebutan ‘Banci Salon’. Tentu pelabelan tersebut sangatlah jauh dari makna sejati dari Bissu dalam suku Bugis.
Bissu Sebagai Tokoh Spiritual
Bagi masyarakat Bugis kuno, Bissu bukanlah sekadar manusia yang mengubah gender, namun memiliki makna spiritual tinggi. Istilah Bissu berasal dari kata ’bessi’, yang berarti memiliki arti: tidak berdarah, suci, tidak haid, dan tidak menyusui.
Jessy mengatakan bahwa, “Bissu juga tidak melakukan hubungan seksual dan ia mampu mengontrol hasrat seksualnya.” Selain itu, untuk menjadi bissu, seseorang harus mampu melalui persyaratan dan tradisi ritual yang telah ditetapkan.
Dari lima jenis gender yang disebutkan di muka, gender calabai atau calalai dapat menjadi seorang Bissu. Namun dari berbagai calabai, hanya golongan calabai tungke’na lah yang dapat meraihnya. “Seorang calabai harus menerima berkah dari para dewa untuk mencapai level itu,” tambah Jessy.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR