Nationalgeographic.co.id - Mulanya, Hayam Wuruk seorang raja keempat Majapahit hendak mempersunting Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Namun, kisah cinta ini justru melahirkan tragedi perang hebat antara Majapahit dan kerajaan Sunda.
Berpangkal dari kisah tersebut, beredar cerita bahwa orang berdarah Jawa dilarang membangun rumah tangga dengan orang Sunda. Mitos ini mengkristal dalam benak kedua golongan masyarakat tersebut, bahkan hingga saat kini masih ada yang mengamininya. Lantas, bagaimana nyatanya?
Auliah Ambarwati, bersama Fandy Kusuma Fauzi, melakukan penelitian bertajuk "Mitologi dalam Perkawinan Adat Suku Jawa dengan Suku Sunda". Hasil studi terbit dalam jurnal JULIA: Jurnal Litigasi Amsir, pada bulan Februari lalu.
“Hubungan yang sudah terjalin lama terkadang kandas di tengah jalan. Salah satu penyebabnya adalah perbedaan tradisi maupun kepercayaan yang dianut oleh keluarga pasangan,” ujar Auliah selaku peneliti utama, “contohnya, mitos orang Sunda yang tidak memperbolehkan melakukan perkawinan dengan orang Jawa.”
Diketahui, bahwa mitos mengenai larangan pernikahan antara orang Sunda dan Jawa termaktub dalam kisah Perang Bubat. Diceritakan, saat Raja Sunda datang ke Bubat bersama permaisuri dan putri Dyah Pitaloka, terjadi suatu kesalahpahaman.
Alih-alih menyambut kedatangan rombongan Kerajaan Sunda, Patih Gajah Mada justru menganggap kedatangan mereka bentuk penyerahan diri, “karena ia ingin memenuhi Sumpah Palapa,” ungkap Auliah. Dalam sumpah tersebut, Gajah Mada berniat untuk menaklukkan seluruh kerajaan di Nusantara.
Terjadilah suatu perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada. Dus, meletus peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada beserta jumlah pasukannya yang besar, melawan pasukan Linggabuana yang berjumlah kecil. Perang Bubat ini berdampak pada gugurnya Linggabuana beserta para pejabat dan segenap keluarganya.
Singkat cerita, dampak dari peristiwa tersebut, hubungan kedua kerajaan itu menjadi tidak harmonis. Pangeran Niskalawastu Kancana, adik dari Dyah Pitaloka yang tidak ikut serta dalam rombongan akhirnya naik tahta.
Baca Juga: Perang Bubat Sebagai Akhir dari Karir Mahapatih Terbesar Majapahit
Baca Juga: Budaya Panji di Tatar Sunda, Meresap Ranah Islam dan Filosofis
Baca Juga: Media Komunikasi Tradisional Jawa-Bali: Instrumen Kentongan dan Bandhe
“Dia memutuskan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Majapahit sekaligus mengeluarkan larangan estri ti luaran (beristri dari luar) bagi kalangan kerabat Kerajaan Sunda,” terang Auliah. Peraturan tersebutlah yang kemudian diartikan bahwa orang Sunda dilarang menikahi orang Jawa.
“Bahkan, jika ada yang nekat melakukannya, konon rumah tangga mereka tidak akan berlangsung lama,” imbuhnya.
Kabar Bohong dalam Perang Bubat
“Para sejarawan kita sejauh ini masih memegang kesimpulan bahwa kisah perang bubat antara Majapahit dan Kerajaan Sunda hanyalah sebuah Fiksi,” ungkap Auliah dalam studinya.
Pendapat ini didasarkan pada kisah Perang Bubat yang sejauh ini hanya termuat dalam karya-karya fiksi dan digubah setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Sementara Kakawin Negarakertagama karya gubahan Mpu Prapanca dan Catatan Perjalanan Bujangga Manik yang sempat bersinggah di Bubat tidak mengisahkan peristiwa di muka.
Peneliti menerangkan, bahwa kisah Perang Bubat ini sengaja diedarkan pada masyarakat oleh Pemerintah Kolonial untuk melancarkan Politik Adu Domba (Devide et Impera). Menciptakan dikotomi antara masyarakat Sunda dan Jawa, merupakan salah satu upaya agar terkotak-kotaknya masyarakat Indonesia kala itu.
Celakanya, tidak sedikit masyarakat yang belum mengetahui kebenaran kisah ini, sehingga sentimen di antara kedua golongan masyarakat tersebut masih bergejolak. Menurutnya perlu ditanamkan dalam jati diri masing-masing sesuai dengan Semboyan Negara kita, “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya walaupun berbeda-beda tetap satu jua.
“Perkara jodoh, maut, dan rezeki merupakan Rahasia Ilahi. Sudah menjadi kehendak Tuhan yang menciptakan Alam Semesta ini,” pungkasnya.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR