Nationalgeographic.co.id—Pada 10 Februari lalu, National Geographic Indonesia mengamati kawasan sekitar bibir Danau Rawa Pening. Banyak warga yang sedang melakukan aktivitas ekonomi, mulai dari nelayan, pedagang, penambang tanah gambut, dan lainya.
Salah satu yang menarik perhatian adalah pengrajin Eceng Gondok dari danau tersebut. Budiman (58), Warga Kecamatan Tuntang, Kab. Semarang, merupakan salah satu orang yang menyulap tumbuhan eceng gondok menjadi kerajinan bernilai jual tinggi. Dirinya sudah menekuni kegiatan ini sejak tahun 2004.
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) merupakan tanaman gulma yang tumbuh di daerah perairan, warga sekitar menyebut tumbuhan ini dengan sebutan bengok. Di Danau Rawa Pening, eceng gondok merupakan ancaman bagi kelestarian ekosistem. Populasi yang berlebihan dapat mengakibatkan pendangkalan hingga terganggunya biota bawah air.
"Dulu hampir 85 persen permukaan Rawa Pening tertutupi eceng gondok mas," ungkap Budi. Namun kini keberadaan eceng gondok di danau tersebut sudah relatif bersih, buah dari program revitalisasi pemerintah pusat.
Dahulu Budi merupakan seorang nelayan yang mencari ikan di Danau Rawa Pening. Sudah sejak usia 15 tahun dirinya menggantungkan hidup dari ikan tangkapan, "sudah lama saya menjadi nelayan, bahkan ketika Rawa Pening mengalami pendangkalan, saya empat tahun merantau di Wonogiri sebagai nelayan Danau Gajah Mungkur," ujar Budi saat menjelaskan perjalanan hidupnya, "tapi ya merantau itu jauh dari keluarga, saya memutuskan kembali dan mencoba mengulik Eceng Gondok."
Awalnya Budi memanfaatkan eceng gondok hanya untuk dijual sebagai barang mentah di luar daerah, namun hasil penjualan sedemikian rupa tidak cukup untuk menghidupi keluarganya. Rasa penasaran menghantui Budi, "saya bingung, batang-batang bengok ini mau dibuat apa?" Rasa ingin tahu budi membawa dirinya untuk mengunjungi lokasi kerajinan eceng gondok di daerah Yogyakarta, "ternyata disana batang eceng gondok ini di anyam mas, ya terus saya pelajari." Kini ia fokus menjalani hidupnya sebagai Pengrajin Eceng Gondok, dan menjadikan nelayan sebagai mata pencaharian tambahan.
Dari Barang Mentah Hingga Siap Jual
Sebelum matahari menampakan badan, Budi sudah bergegas untuk mencari Ikan dan Eceng Gondok. Berbebekal Jala, clurit, serta perahu kecil, Budi mengarungi Rawa Pening bak laksamana membelah samudera. Hampir setiap hari ia melakukan kegiatan serupa demi menafkahi keluarganya, "kalau waktunya angin barat, saya tidak berani ke danau mas, ombaknya mengerikan," jelas Budi.
Ia kembali ke rumah ketika matahari sudah menunjukan pukul 12 siang. Sekitar 300 meter, Budi mencangking ikan dan seonggok eceng gondok sebagai hasil buruannya. "Kalau sudah sampai rumah, saya menjemur eceng gondok yang masih basah, kadang-kadang di depan rumah, kadang-kadang juga di sekitaran Rawa Pening," jelas Budi.
Bersama Istrinya, Budi menggarap eceng gondok menjadi barang bernilai fungsi. Mulai dari Sendal, tempat tisu, kotak box, hingga tempat tidur. Setiap bulan Budi mampu meraih omset jutaan rupiah dari hasil penjualan. Nominal pendapatan dari kerajinan eceng gondok jauh lebih banyak dari profesi sebelumnya sebagai nelayan, "dari eceng gondok ini mas saya bisa membeli motor dan menyekolahkan anak-anak saya hingga kuliah," ungkap Budi.
Dalam urusan pemasaran, Budi dibantu oleh Firman Setyaji pemilik rumah kerajinan Bengok Craft. Aneka kerajinan Eceng Gondok dijual ke berbagai daerah, mulai dari tempat wisata lokal hingga menembus pasar Internasional.
Penulis | : | Tri Wahyu Prasetyo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR