Nationalgeographic.co.id—Pada abad ke-19, tekanan kolonialis di Jawa semakin menguat terutama ketika berkuasanya Herman Willem Daendels dan Thomas Stamford Raffles yang menerapkan berbagai kebijakan politik radikal.
"Tekanan terhadap rakyat juga diderita oleh rakyat di Cirebon," tulis Islamiati Rahayu dalam jurnalnya berjudul Strategi-Strategi Perlawanan Rakyat Cirebon dalam Perang Kedongdong Tahun 1802-1818 M. Tulisannya dimuat dalam jurnal Tamaddun, terbit pada 2016.
Sejak abad ke-17 VOC melakukan berbagai praktik supremasinya seperti eksploitasi tanam wajib, memonopoli perdagangan, kerja wajib dan memberikan persembahan wajib. Semua itu sudah dirasakan oleh rakyat Cirebon yang membuat mereka sangat menderita, sebelum akhirnya VOC mengalami kebangkrutan pada abad ke-18.
Namun, berakhirnya kompeni di tanah Cirebon, tak kunjung menjauhkan mereka dari praktik penjajahan. "Bahkan pada abad ini, para sultan Cirebon berada pada suatu masa di mana kedudukannya sebagai penguasa hilang sama sekali," imbuh Rahayu.
"Rakyat menyadari bahwa penguasa sangat berperan dalam 'menentukan nasibnya' sehingga penguasa yang pro-rakyat adalah harapan dan harus diperjuangkan," lanjutnya.
Maka, ketika raja sebagai harapan rakyat tidak memperoleh haknya sebagai penguasa, rasa kecewa dan amarah rakyat terhadap Pemerintah Kolonial Belanda semakin mendalam hingga munculnya upaya untuk melakukan perlawanan.
Hal serupa terjadi pada Raja Kanoman yang diusir dari kraton Cirebon, bahkan dibuang ke Ambon. Jabatan sultan yang harus diperolehnya justru diberikan pada saudaranya yang memihak Pemerintah Kolonial.
Alih-alih sultan anyar mendapat dukungan, keberpihakannya pada pemerintah kolonial malah meletuskan sejumlah perlawanan dan pemberontakan oleh rakyat sipil kerajaan.
Perlawanan tersebut tidak terjadi setiap tahun namun terdapat dua periode perlawanan: pada periode 1802-1812 M yang dipimpin oleh Bagus Rangin dan pada periode 1816-1818 M yang dipimpin oleh Bagus Jabin dan Bagus Serit.
Menariknya perlawanan yang kemudian dikenal dalam Babad Kana dan Babad Cirebon, disebut dengan istilah Perang Kedongdong, dimana perlawanan digerakkan oleh masyarakat miskin di Cirebon yang marah dan kecewa dengan pemerintah kolonial.
"Gerakan perlawanan rakyat Cirebon ini dimotori dan dipimpin oleh tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari para tokoh keraton, tokoh agama dan pejabat daerah," jelasnya.
Sebelum pecahnya Perang Kedongdong, beberapa tokoh penggerak seperti Sultan Muhammad Syafiudin dan Pangeran Suryakusuma melakukan pertemuan di Tengah Tani, sebuah daerah di Cirebon.
Source | : | jurnal Tamaddun |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR