Nationalgeographic.co.id—Menara Pisa dan kemiringan 5,5 derajatnya membuat para insinyur jengkel selama berabad-abad.
Pada Agustus 1173, pembangunan menara lonceng Duomo of Pisa dimulai. Sayangnya, lima tahun kemudian menara yang belum selesai dibangun itu mulai miring. Konstruksi segera dihentikan dan selama hampir satu abad menara itu tetap menjadi tunggul yang belum selesai. Pada tahun 1275, pekerjaan dilanjutkan kembali dan selesai sekitar tahun 1372.
Secara tidak terduga, menara ini dibangun di atas tanah lunak. Inilah yang menyebabkan menara miring bahkan sebelum pembangunannya selesai.
Pada saat itu, beberapa tindakan pencegahan diambil untuk menghindari runtuhnya menara. Kolom yang lebih panjang di satu sisi menara mengurangi kemiringan lantai atas dan dekorasi asimetris menyembunyikan kemiringan. Juga, ketinggian akhir menara diturunkan jauh, berukuran 56 meter dari tanah di sisi rendah dan 57 meter di sisi tinggi.
Kesalahan yang tidak disengaja ini kemudian menjadi salah satu keanehan sejarah dunia. Menara Pisa pun dijadikan situs Warisan Dunia UNESCO.
Anda mungkin membayangkan, karena posisinya yang miring, menara ini mungkin dapat roboh dengan mudah saat gempa.
Tidak hanya mengejutkan bahwa menara ini masih bersandar setelah 600 tahun, tetapi juga karena telah bertahan dari serangkaian gempa bumi yang kuat. Setidaknya empat telah melanda kota Pisa sejak pembangunannya.
Penelitian, yang akan diterbitkan dalam jurnal Earthquake Spectra, mengeklaim bahwa itu memecahkan misteri bagaimana Menara bertahan. Ternyata, kemiringannya itulah yang menyelamatkannya dari keruntuhan.
Bagaimana bisa sesuatu yang secara struktural tidak kukuh dapat bertahan di daerah rawan gempa selama ratusan tahun?
Ini membuat profesor teknik yang mempelajari geoteknik dan interaksi tanah-struktur, George Mylonakis, penasaran dan berusaha mencari tahu jawabannya.
Menara di barat laut Italia bertahan dari dua perang dunia dan dikunjungi oleh jutaan turis. Bukan hanya itu, menara Pisa juga selamat dari empat gempa bumi kuat yang melanda wilayah itu sejak 1280. Salah satu gempa berkekuatan lebih dari 6,0 magnitudo.
Mylonakis akhirnya menemukan jawaban yang melibatkan tanah lunak yang terkenal itu. Ini dikenal dengan istilah interaksi struktur tanah dinamis.
Ketinggian dan kekakuan menara dikombinasikan dengan kelunakan tanah fondasi menyebabkan karakteristik getaran struktur dimodifikasi secara substansial. Kombinasi ini yang menyebabkan menara tidak beresonansi dengan getaran gempa bumi.
Jadi selama gempa, menara tidak bergetar sebanyak bumi di bawahnya, lebih bertentangan dengan gravitasi.
“Ironisnya, tanah menyebabkan ketidakstabilan kemiringan dan membawa menara ke ambang kehancuran justru membuatnya bertahan dari gempa bumi,” ungkap Mylonakis.
Meski dapat selamat dari gempa bumi, ini tidak menyelamatkan menara Pisa dari potensi roboh kelak.
Pada tahun 1990, pemerintah Italia menutup menara untuk pengunjung dan memulai proyek restorasi selama satu dekade. Untuk mencegahnya supaya tidak roboh, tim menempatkan 900 ton penyeimbang timbal di sisi utara menara. Kemudian para ahli membuat rencana yang lebih baik untuk memperlambat kemiringannya.
Insinyur juga memasang peralatan yang memungkinkan mereka melakukan penyesuaian terhadap tekanan air di bawah menara. “Ini selanjutnya akan mengontrol kemiringan,” ungkap Cleeve R. Wootson Jr. dilansir dari laman Washington Post.
Semua konstruksi itu sedikit memperbaiki kemiringan menjadi 3,9 derajat dari 5,5 derajat. Selain memperbaikinya, cara ini juga dapat membuat menara mempertahankan kemiringan yang sama.
Tapi yang lebih penting, itu berarti menara itu tidak dalam bahaya runtuh karena efek gravitasi saja.
"Sangat tidak mungkin bahwa fondasi menara akan runtuh," kata John Burland, salah satu pemimpin proyek restorasi. Jika ada sesuatu yang menyebabkan menara runtuh “kemungkinan besar itu disebabkan oleh gempa bumi yang sangat besar.”
Para ahli berpendapat bahwa dengan pekerjaan restorasi, menara Pisa akan bertahan setidaknya 300 tahun lagi. Bahkan jika terjadi gempa bumi di masa depan.
Source | : | Washington Post |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR