Nationalgeographic.co.id—Raden Ayu Kartini memiliki pemikiran melampaui zamannya. Dia telah menyadari kemajemukan beragama kaum Bumiputera di Hindia-Belanda.
Kartini merupakan kaum terpelajar yang dilahirkan dari pendidikan sekolah Eropa. Atas akses pergaulannya, dia mencurahkan segala keresahannya dengan berkorespondensi dengan sahabat pena, yakni orang-orang Belanda.
Dalam surat-suratnya yang dikirim ke Belanda, ia menceritakan banyak hal tentang gagasan pemikirannya. Salah satu yang tak lepas dari keresahannya ialah kehidupan beragama kaum Bumiputera di Hindia-Belanda.
"Keprihatinan Kartini akan manusia yang saling membenci, saling menghina karena pemahaman agama yang dangkal menjadi realitas di negeri ini," tulis Lilis Muchoiyyaroh.
Lilis menulisnya dalam jurnal Indonesian Historical Studies yang berjudul Rekonstruksi Pemikiran Kartini tentang Keagamaan untuk Memperkuat Integrasi Nasional. Jurnalnya dipubllikasi pada tahun 2019.
Kartini hidup di tengah sistem feodalisme dan adat istiadat Islam kejawen yang memicu terjadinya perpecahan karena faktor agama. Sering kali situasi ini menjadi bahan perbincangan yang mengalir deras dalam surat-surat yang dikirimkan kepada sahabat-sahabat penanya.
Pemahaman Kartini tentang agama adalah bentuk pengalaman dan pergumulan batin akan apa yang sedang terjadi pada masanya. Berulang kali, Kartini menjumpai fenomena penistaan agama oleh salah seorang pemeluk agama yang menyinggung pemeluk agama lain.
Fenomena yang kerap terjadi, dimana kekerasan oleh kelompok yang satu terhadap yang lain, pembenaran akan agama sendiri menjadi pemandangan sehari-hari sebagai penodaan dan penyimpangan terhadap kesucian ajaran agama itu sendiri.
Dalam suratnya, Kartini memandang bahwa serangan terhadap agama tertentu tidak perlu terjadi. "Apabila ada kritik, maka kritik itu harus secara langsung ditujukan kepada si pelaku dan terlepas dengan agama yang dianutnya," tulis Lilis.
Kartini hidup di tengah kemajemukan dan kontestasi beragama, yang membuatnya merasa miris dan prihatin sebagai masyarakat beragama di kalangan Bumiputera. Kartini sendiri dikenal dari kalangan priayi.
"Islam bagi golongan priayi hanya digunakan untuk melengkapi narasi mistik. Mistik priayi memang sulit dikompromikan dengan ajaran tasawuf murni," imbuhnya.
Dalam hal ini, mereka terkesan menyamakan kedudukan Tuhan dengan manusia, yang tersirat pada ungkapan manunggaling kawula-Gusti. Tentu, dari pemahaman beragamanya, pemikirannya melintang jauh menelusuri keberagaman beragama.
Pemikirannya terus berkembang manakala kerap bertukar pikiran dengan sahabat pena Eropanya. Salah satu sahabat penanya dari Belanda bernama Nellie van Kol.
Dari sana ia mulai mengagumi zending —istilah yang digunakan Kartini untuk menyebut misi Kristen, yang menurutnya ajaran agama humanis. Meski seiring berjalannya waktu, Kartini turut mengecam gerakan misionaris oleh pemerintah kolonial Belanda di Jawa.
Baginya, pemerintah kolonial pun tidak sebaiknya mengganggu anak-anak muslim yang ingin belajar Islam. Sebaliknya, Kartini mendukung anak-anak muslim untuk mempelajari Islam dengan baik, seperti pengajaran di pesantren dan tempat kajian Islam lainnya.
Kartini yang merupakan perempuan priayi Jawa tentu lebih mudah mengakses ilmu Eropa jika dibandingkan dengan ilmu agama, dalam hal ini Islam. Jika ingin belajar ilmu agama, maka Kartini harus berjalan jauh keluar kadipaten.
Ia mengecam kepada pemerintah kolonial Belanda karena pengalaman hidupnya yang serba dibatasi oleh kontrol pemerintah, melarangnya untuk mempelajari Islam lebih jauh lagi.
"Namun, setelah pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat, Kartini mengalami transformasi spiritual khususnya tentang pendidikan dan kedudukan perempuan dalam Islam," jelasnya.
Baca Juga: Misteri Hilangnya Lukisan Karya Kartini Saat Pusaran Geger 1965
Baca Juga: Mengenal Sisi Lain Kartini Lewat 'Kotak Jahit' dan Surat-Surat yang Hilang
Baca Juga: Kartini dan Kegembiraan yang Meluap Akan Pendidikan
Baca Juga: Jadi Pahlawan dan Hari Lahirnya Dirayakan, Apa Keistimewaan Kartini?
Pertemuannya dengan Kiai Sholeh Darat, memberi pemahaman kepada Kartini tentang ajaran Islam dan pendidikan wanita yang tak dapat dipisahkan. Di sana, Ia memahami bahwa Islam sangat memuliakan kaum wanita.
Cerita hati Kartini melalui surat ternyata bukan hanya tentang kisah perjuangannya memperjuangkan emansipasi wanita dalam menuntut haknya.
Tentang perpecahan agama yang ia temui, Kartini berpedoman kepada ajaran untuk saling menolong dan membantu serta saling mengasihi, itulah dasar agama. Agama yang diberikan Allah sebagai berkah bagi manusia, bukan malah menjadi perpecahan.
Dalam sebuah surat, Kartini pernah kecewa dengan perilaku sekelompok orang: "Kami merasa bahwa inti dari semua agama adalah hidup yang benar, dan bahwa semua agama itu baik dan indah. Akan tetapi, wahai umat manusia, apa yang kalian perbuat dengannya?"
Dalam surat-suratnya, Kartini menginginkan agar hubungan antar-manusia dan antar-bangsa tidak dipecah belah karena perbedaan agama. Sebaliknya, agamalah yang harus menguatkan persatuan.
Setelah memahami hakikat 'universalitas beragama', Kartini menuliskan suratnya kepada Nellie van Kol: "Ia tidak seagama dengan kita, tetapi tidak mengapa. Tuhannya kita, Tuhan kita semua."
Source | : | Indonesian Historical Studies |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR