Suetonius mengeklaim bahwa Claudius pernah meninggalkan ruang sidang ketika dia mencium bau masakan yang dimasak di kuil sebelah. Ia pergi untuk bergabung dalam perjamuan. Saat memimpin ritual pengorbanan, Vitellius dikatakan telah melahap sendiri daging dan kue kurban.
Kedua contoh ini merupakan kelalaian tugas yang rakus. Muntah adalah tanda utama pemborosan bagi seorang kaisar, yang secara harfiah membuang kekayaan kerajaannya.
Moralitas dan realitas makanan
Orang Romawi akan memahami pesan moral yang terkandung dalam anekdot ini. Seorang pria Romawi yang baik seharusnya mengabdikan diri kepada dewa, keluarganya, dan negara alih-alih pada perutnya. Konsumsi makanan yang berlebihan adalah tanda kelemahan moral batin.
Filsuf Seneca juga mengkritik mereka yang menghabiskan uang untuk makan secara berlebihan. Katanya, “Mereka muntah agar bisa makan dan mereka makan agar bisa muntah. Mereka bahkan tidak menganggap hidangan yang telah dikumpulkan dari seluruh bumi layak untuk dicerna.”
Baca Juga: Saluran Air yang Membanggakan dalam Membangun Peradaban Romawi
Baca Juga: Mengenal Titus 'Livy', Penulis Sejarah Penting tentang Lahirnya Romawi
Baca Juga: Kisah Pilu dan Mengenaskan Kehidupan Budak di Peradaban Romawi Kuno
Baca Juga: Romanisasi: Asimilasi Budaya Faktor Langgengnya Peradaban Romawi
Muntah sebenarnya lebih lumrah di dunia Romawi sebagai pengobatan medis. Celsus menyarankan agar muntah tidak menjadi kebiasaan sehari-hari karena itu adalah tanda kemewahan. Tetapi muntah membersihkan perut dapat diterima karena alasan kesehatan.
Penggunaan istilah muntah atau vomitorium oleh Macrobius bermaksud untuk memunculkan citra amfiteater yang memuntahkan orang. Hubungan antara istilah arsitektur dan cerita seram tentang muntah orang Romawi yang ditemukan dalam teks-teks kuno menyebabkan salah tafsir. Maka tidak heran jika di abad ke-19, orang Romawi dipercaya memiliki ruang khusus untuk muntah.
“Oleh karena itu, mitos tentang vomitorium telah dibentuk oleh ketertarikan kita terhadap kejenakaan para kaisar dan elit dalam hal mengisi perut,” jelas Davenport.
Sejak zaman kuno, kita senang mendengar dan mengkritik kebiasaan makan orang lain yang berlebihan sebagai tanda kelemahan moral.
Source | : | Ancient Pages |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR