Nationalgeographic.co.id—Sekitar 252 juta tahun lalu hanya ada satu benua di planet ini, Pangea. Waktu itu adalah akhir Periode Perm (Permian) di mana lautan dihidupi oleh ikan bertulang yang ditutupi pelat lapis baja dan kalajengking laut seukuran manusia modern. Sisa-sisa kehidupan periode itu banyak ditemukan arkeolog di seluruh dunia.
Setidaknya pada akhir Perm, 90 persen kehidupan laut musnah akibat kepunahan tebesar dalam sejarah Bumi. Para ilmuwa menduga, saat itu disebabkan oleh pelepasan karbon dioksida besar-besaran yang kemungkinan dihasilkan oleh aktivitas gunung berapi.
Penelitian di jurnal Science tahun 2018 berpendapat, kematian yang paling umum kemungkinan adalah stres fisiologis dari pemanasan laut dan hilangnya oksigen. Peristiwa ini adalah produk sampingan dari perubahan iklim yang disebabkan oleh gas rumah kaca.
Temuan ini memberikan pelajaran tentang perubahan iklim dan kehidupan laut yang kita hadapi saat ini. Sebuah makalah yang juga diterbitkan di Science di tahun yang sama, menyatakan bahwa jika emisi rumah kaca kita sendiri terus berlanjut, pemanasan air dan hilangnya oksigen di laut dapat menghadirkan kepunahan yang menyaingi lima kepunuhan bencana terburuk di planet ini.
Tetapi, para peneliti berpendapat, kita bisa mengubah bencana ini. Mengurangi emisi dengan cepat dapat mengurangi risiko kepunahan, bahkan, hingga 70 persen. Caranya, kita harus mengurangi gas rumah kaca bersama-sama demi menghentikan polusi laut, penangkapan ikan berlebihan, perusakan habitat, dan tekanan laut lainnya. Ini akan memberikan peluang bagi kehidupan yang lebih baik untuk bertahan hidup jangka panjang.
"Jika kita membalikkan emisi kita dengan cepat, kita masih bisa kehilangan sekitar lima persen spesies laut," kata rekan penulis Curtis Deutsch. Dia adalah ilmuwan iklim di Princeton University, AS.
Melansir National Geographic, ia mengatakan, "Pada pemansan dua derajat [Celsius], Anda bisa melihat penurunan sepuluh persen. Akan ada perubahan dalam keseluruhan komunitas spesies yang hidup di sebagian besar tempat. Tetapi ini adalah angka yang relatif kecil. Kami akan menghindari kepunahan massal."
Deutsch dan penulis utama Justin Penn, tidak hanya mencari tahu bagaimana suhu yang memanas memengaruhi oksigen di laut tetapi juga bagaimana oksigen digunakan oleh kehidupan laut.
15 tahun terakhir, zona rendah oksigen alami di laut makin meluas, walau tidak merata. Akibatnya, kehidupan laut terdorong menuju kawasan yang kaya oksigen yang semakin sempit di dekat permukaan. Karena air hangat lebih ringan daripada air dingin di bawah, hal itu mengurangi pencampuran laut, yang berarti lebih sedikit oksigen yang masuk ke dalamnya.
Para peneliti berpendapat, perkembangan seperti itu mengacak-acak kehidupan laut, mengurangi habitat untuk beberapa spesies, dan membuat beberapa spesies terpusat untuk dimangsa spesies lain.
Belum lagi, penelitian terbaru di PLOS Climate pada 1 Februari 2022, mengatakan perubahan ini membuat semacam 'new normal' bagi kehidupan laut. Kondisi panas ekstrem menyebabkan risiko keruntuhan ekosistem yang penting, termasuk terumbu karang, pdang lamun, dan padang rumput laut. Ini akan berdampak pada sumber penopang kehidupan lainnya, termasuk pada manusia.
"Ketika ekosistem laut di dekat daerah tropis mengalami suhu yang sangat tinggi, organisme kunci seperti karang, padang lamun, atau hutan rumput laut dapat runtuh," kata Kyle Van Houtan, rekan penulis penelitian Monterey Bay Aquarium. Dikutip dari laporan National Geographic Indonesia sebelumnya.
"Mengubah struktur dan fungsi ekosistem mengancam kapasitas mereka untuk menyediakan layanan yang menopang kehidupan bagi komunitas manusia seperti mendukung perikanan yang sehat dan berkelanjutan, menyangga wilayah pesisir dataran rendah dari peristiwa cuaca ekstrem, dan berfungsi sebagai penyerap karbon untuk menyimpan kelebihan karbon akibat emisi rumah kaca."
Namun, seperti apa peluang bagi kehidupan lautan kita? Penn dan Deutsch lewat makalahnya menemukan, di bawah skenario emisi tertinggi saat emisi kita terus melonjak, pemasan laut dan hilangnya oksigen akan memusnahkan lebih banyak spesies pada akhir abad ini.
Penn dan Deutsch, dalam makalah tahun 2018, menemukan bahwa di bawah skenario. Angkanya lebih tinggi dibandingkan stres laut lainnya seperti penangkapan ikan yang berlebihan dan polusi jika digabungkan.
Baca Juga: Mengakali Daging: Cara Pencinta Daging Bisa Turut Menyelamatkan Bumi
Baca Juga: Panas Ekstrem Adalah 'New Normal' di Sebagian Besar Laut Dunia
Baca Juga: Kebakaran Deforestasi Indonesia Sumbang 7% Emisi Gas Rumah Kaca Dunia
Mereka menjelaskan, laut di kawasan tropis akan kehilangan sebagian besar spesies, karena kebanyakan di antaranya berpindah ke daerah yang lebih dingin demi bertahan hidup. Tetapi, spesies yang berada di laut dekat kutub atau cuaca dingin, akan jadi sangat rentan menghadapi risiko kepunahan. Pola ini serupa sebagaimana catatan fosil pada kepunahan Perm akhir.
"Spesies tropis lebih mungkin untuk bertahan hidup karena kondisi hipoksia yang hangat dan menyebar secara global, spesies ini sudah beradaptasi dengan jenis lingkungan tersebut," kata Justin Penn.
Bila akhir abad ini gas rumah kaca tidak mereda, menempatkan Bumi di jalur kepunahan seperti perm akhir yang diperkirakan terjadi tahun 2300, urai para peneliti.
Prediksi ini adalah model terburuk, sebab mereka belum menghitungkan kebangkitan tenaga surya dan angin yang mengurangi pembakaran fosil yang mungkin terjadi sangat lambat. Tetapi, temuan ini menguraikan bahwa kepunahan hari ini dan esok, memiliki kesamaan dengan 252 juta tahun lalu.
Artinya, memang beberapa kerugian tidak bisa dihindari, sekalipun kita bisa mengendalikan emisi dengan cepat. Suhu global saat ini telah meningkat sekitar derajat Celsius. Tetapi, pembatasan kenaikan suhu, seperti yang disetujui dalam Kesepakatan Paris, kerugian kemungkinan akan tetap di bawah 10 persen, kata Penn.
Source | : | National Geographic |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR