Nationalgeographic.co.id—Kejenuhan menjadi faktor utama yang melanda para pekerja perkebunan. Bukan hanya pekerjanya, para tuan tanah onderneming juga butuh hiburan untuk menyambut tamu kehormatan.
Gagasan menyelenggarakan hiburan terlintas dibenak tuan tanah di lahan perkebunan super luas, Pamanoekan & Tjiasemlanden (P en T Lands) sebagai hiburan untuk rakyat Subang dan tamu kehormatan yang akan singgah ke sana.
Iim Imadudin menulis dalam jurnal Patanjala yang berjudul Dampak Kapitalisme Perkebunan Terhadap Perubahan Kebudayaan Masyarakat di Kawasan Subang 1920-1930 yang dipublikasi pada tahun 2014.
Bagi tuan tanah, mereka memiliki sarana hiburan tersendiri. Ialah Gedung societeit yang dibangun pada masa PW. Hofland yang menjadi tempat bersosialisasi sekaligus hiburan dengan adanya dansa, nyanyian, permainan biliar, dan sebagainya.
Bagi para pekerja dan karyawan onderneming—notabene kebanyakan rakyat Subang yang bekerja untuk perkebunan Belanda—disiapkan hiburan mulai dari selepas jam kerja hingga malam hari.
Pihak perkebunan P en T menggelar hiburan rakyat bagi orang-orang Sunda (een Soendaneesch volksvermaak) dengan mengundang ledek atau hiburan lainnya. Kesenian ini biasanya didatangkan hanya sekali dalam seminggu atau waktu-waktu tertentu.
Di sisi lain, Imadudin menyebutkan bahwa penyelenggaraan hiburan adalah salah satu cara bagi "para administratur yang berupaya membangun citra baik di kalangan masyarakat."
"Hiburan yang didatangkan dari luar lebih merupakan bentuk belas kasih terhadap buruh," lanjutnya lagi.
Dalam kisah perjalanan Jan ten Brink yang ditulis dalam buku berjudul Drie Reisschetsen (1894), diceritakan bahwa para tamu yang datang ke tanah P en T Lands disambut dengan kemeriahan berupa alunan gamelan dan tarian-tarian.
Biasanya para nayaga (para penabuh gamelan) menggelar tikar sebagai alas tempat duduknya. Gelapnya malam diterangi oleh colen, yaitu sejenis obor yang berasal dari bahan bambu.
Sebagai alat musik pengiringnya dipergunakan ketuk, kecrek, kendang, rebab, dan goong kecil. Musiknya yang riang mengundang hasrat buruh perkebunan P en T Lands untuk datang dan ikut menari.
Tatalu (musik pembuka) mengawali pertunjukan sebagai tanda dimulainya tarian. Para ronggeng dan buruh menari bersama. Ronggeng menari dengan menonjolkan goyangan pinggul. Setelah menari, ronggeng akan menerima uang sawer.
"Ongkos yang harus dikeluarkan buruh untuk menikmati hiburan tersebut tidaklah kecil," sambung Imadudin.
Mereka bisa saja menghabiskan seluruh uang hasil jerih payahnya bekerja untuk kesenangan sesaat. Hal itu juga membawa mereka kepada kondisi yang sulit secara finansial.
Bagi tuan kebun, hiburan tersebut merupakan strategi 'menghibur sambil mengikat', mengambil hati para buruh dan rakyat Subang sekaligus sebagai siasat menjinakkan mereka.
Baca Juga: Onderneming Banyuasin Mendorong Lahirnya Modernitas di Masyarakat
Baca Juga: Perkecuan di Klaten Akibat Krisis Petani Perkebunan Belanda Sejak 1875
Baca Juga: Koran Kuno tentang Peran Tuan Tanah Cina dalam Pendidikan di Tangerang
Pegawai perkebunan harus 'diikat', takut-takut mereka melarikan diri dan meninggalkan perkebunan, menanggalkan pekerjaannya, sehingga hiburan itu menjadi salah satu siasatnya.
Siasatnya, menir perkebunan berusaha menghisap kembali pendapatan buruh melalui tangan ketiga. Pihak perkebunan sengaja membuka jalan bagi orang Cina untuk masuk dalam situasi keuangan yang sulit, uang yang dihabiskan untuk sawer.
"Orang Cina memanfaatkan situasi dengan memberi pinjaman kepada para buruh yang kehabisan uang akibat berjudi. orang-orang Cina dengan senang hati memberi pinjaman dengan syarat harus dibayar minggu berikutnya," terusnya lagi.
Dengan tuntutan untuk membayar hutang kepada orang-orang Cina yang menawarkan piutang, tentu rakyat Subang tak akan lari dari pekerjaannya,
Tradisi mendatangkan ronggeng rupanya sudah menjadi gejala umum di lingkungan perkebunan untuk menciptakan stabilitas sekaligus mengail hati rakyat Subang.
Source | : | Jurnal Patanjala |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR