Kisah dan foto oleh Feri Latief
Nationalgeographic.co.id—Matahari yang sama, namun pagi yang berbeda. Ribuan warga tumpah ruah di halaman masjid Al-Ikhsan di Desa Tanjung Tanah, Kerinci, Jambi. Warga terlihat sangat antusias, dari anak-anak sampai kakek nenek memenuhi halaman yang tak seberapa luas itu.
Sabtu, 14 Mei. Warga bersuka cita dalam sebuah perayaan yang dinamakan Kenduri Sko. Di provinsi Jambi, tradisi ini hanya ada di wilayah Kerinci. Kenduri Sko adalah pesta yang diselenggarakan rutin dalam periode tertentu. Ada yang setahun sekali ada juga yang lima tahun sekali.
Pesta adat ini merupakan bentuk ungkapan rasa syukur. Ada urutan acara adat yang dilaksanakan. Dari mulai memotong kerbau untuk pesta, menurunan benda-benda pusaka dari tempat penyimpanannya dan sekaligus membersihkannya.
Lalu pengukuhan dan penobatan jabatan adat seperti depati, hulubalang, ninik mamak, rio, datuk dan pemangku. Sampai pada acara puncak silaturahmi makan bersama dan doa keselamatan untuk warga dan nenek moyang terdahulu.
Dalam struktur sosial masyarakat Kerinci biasanya dipimpin oleh Depati, ini gelar adat tertinggi. Di wilayah Tiga Luhah, Tanjung Tanah, terdapat puluhan depati yang dipimpin oleh tiga depati. Yang tertinggi derajatnya adalah Depati Talam Tuo, yang betugas sebagai pimpinan para depati.
Depati Talam Tuo didampingi Depati Sikumbang yang bertugas sebagai juru catat . Dalam ketatanegaraan, posisinya serupa dengan sekretaris negara. Pendamping lainnya adalah Depati Bumi yang bertugas untuk mengatur masalah pertanahan, air, hubungan antar warga dan hal-hal lainnya. Katakanlah, jabatan ini semacam menteri dalam negerinya.
Para depati ini dipilih berdasarkan musyawarah. Jika ada yang mati, diganti oleh yang lainnya. Ketika Kenduri Sko, pengukuhan gelar adat inilah dilaksanakan.
Perhelatan ini juga merupakan pesta untuk merayakan kepemilikan pusaka. Orang-orang setempat menyebut "pusako" yang kemudian mengalami pemendekan kata menjadi "sko".
Di Tanjung Tanah, Kenduri Sko diadakan seharusnya lima tahun sekali. Namun, pagebluk Covid-19 telah menundanya perhelatan yang seharusnya digelar dua tahun silam. Tak heran warga yang rindu pada perhelatan adat ini bersemangat untuk merayakannya.
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR