Nationalgeographic.co.id—Lahan basah seperti rawa-rawa, paya, dan gambut, mungkin menjadi harapan di masa depan ketika permukaan air laut makin naik. Menurut para ilmuwan, lewat jurnal di Science Advances, peningkatan karbon diharapkan dapat memicu pertumbuhan ekstra bagi tumbuhan di lahan gambut untuk melampaui kenaikan permukaan laut.
Temuan mereka itu dituliskan dalam makalah berjudul Accelerated sea-level rise is suppressing CO2 stimulation of tidal marsh productivity: A 33-year study yang dipublikasikan pada Rabu, 18 Mei 2022.
“Terlalu banyak air adalah stres, stres lingkungan, untuk respons tanaman terhadap karbon dioksida yang tinggi,” kata penulis utama Chunwu Zhu, ahli biologi dari Chinese Academy of Sciences, Tiongkok, dikutip dari Eurekalert.
Lahan basah adalah rumah bagi beberapa eksperimen futuristik bagi ilmuwan. Para peneliti menjalankan simulasi iklim di tahun 2100, dan mengandalkan data eksperimen yang dimulai dari 1987 untuk mengamati bagaimana peningkatan karbon dioksida berdampak pada pertumbuhan. Eksperimen itu mereka lakukan pada tumbuhan lahan basah dalam beberapa ruang di Global Change Research Wetland, Smithsonian Environmental Research Center, AS.
15 ruang terbuka pada eksperimennya, Zhu dan timnya meningkatkan konsentrasi karbon dioksida dengan tambahan 340 bagian per juta (sekitar dua kali lipat tingkat karbon dioksida tahun 1987). Lalu, 15 ruang lainnya berfungsi sebagai kontrol—tanpa tambahan karbon dioksida.
Mereka berfokus pada 10 ruang dengan tanaman “C3”, sebagai kelompok tanaman yang diketahui merespons tinggi karbon dioksida. Tanaman itu mencakup sekitar 85 persen spesies tanaman di Bumi, terang mereka.
Eksperimen pun berjalan dalam dua dekade pertama. Pertumbuhan tanaman di ruang karbon dioksida yang lebih tinggi, di atas tanah, rata-rata 25 persen lebih banyak ketimbang tanaman di ruang yang tidak diberikan.
Dampaknya bahkan lebih kuat di bawah tanah, yakni pertumbuhan akarnya jadi lebih banyak 35 persen karena dipicu karbon dioksida yang tinggi. Pertumbuhan akar sangat penting untuk kelangsungan hidup di lahan basah, karena dapat membantu membangun tanah dan menjaga fondasi tumbuh ke atas, bahkan saat air laut terus naik.
“Meski peningkatan karbon dioksida berkontribusi pada kenaikan permukaan laut, itu juga meningkatkan kemampuan rawa untuk bertambah secara vertikal selama tahun-tahun awal percobaan,” lata Donald Cahoon, rekan penulis dan ahli ekologi di U.S. Geological Survey.
Namun hasilnya menurun setelah 2005, bahkan menghilang. Selama 14 tahun terakhir data dalam penelitian, tidak ada perbedaan rata-rata pertumbuhan tanaman antara ruangan kaya karbon dioksida dan normal.
“Efek CO2 selalu menjadi salah satu lapisan perak dari perubahan iklim,” kata Adam Langley, ekolog di Villanova University, AS, yang juga jadi rekan penulis penelitian. “Yah, setidaknya tanaman akan tumbuh lebih banyak. Tetapi kita liha di sini bahwa mereka tidak melakukannya. Jadi lapisan perak bagi saya menjadi sedikit lebih suram.”
Zhu dan rekan-rekan mencari penjelasan atas fenomena dalam eksperimen ini. Kemungkinan besar adalah curah hujan, suhu, air asin selama musim tanam atau keberadaan nutrisi tanah yang penting seperti nitrogen.
Hanya kenaikan permukaan laut yang menunjukkan kaitan dengan pertumbuhan tanaman, tulis mereka. Ketika permukaan laut di lahan basah naik setinggi 15 sentimeter di lokasi, manfaat karbon dioksida yang lebih tinggi menghilang.
Baca Juga: Mengejar Target Penggunaan Energi Terbarukan demi Karbon Netral
Baca Juga: Perkembangan Lahan Gambut Pesisir di Indonesia Selama Ribuan Tahun
Baca Juga: Mangrove dan Lamun sebagai Benteng Alam untuk Melawan Krisis Iklim
Maka, mereka berpendapat, tanaman lahan basah punya kemungkinan menjadi harapan ketika ketinggian air laut makin meninggi. Sehingga, kawasan lahan basah sangat penting dikonservasi agar bisa melawan perubahan iklim dan beradaptasi dengannya.
Lahan basah mungkin masih bisa lolos dari tenggelam. Jika lahan basah tidak dapat naik lebih tinggi dengan membangun tanah, mereka bisa merembet ke daratan. Tetapi itu hanya bisa terjadi jika mereka punya cukup ruang.
Di sisi lain, para ilmuwan dalam penelitian juga menyadari bahwa karbon dioksida berlebih tidak selalu merangsang pertumbuhan sebanyak yang dikira. Beberapa karbon yang dapat diserap dalam beberapa dekade mendatang masih jadi lebih tidak pasti.
Selain menyerap sejumlah besar karbon, kawasan yang sangat kecil di permukaan Bumi ini bisa melindungi manusia dari perubahan iklim yang lebih ekstrem, seperti angin topan dan hurikan.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR