Eduard berhasil menggambarkan situasi saat itu dalam novelnya, bahwa pribumi telah ditindas tidak hanya oleh penguasa kolonial, melainkan juga oleh penguasa lokal—bahkan lebih kejam. “Sistem penggajian memang telah menggantikan sistem upeti”, kata sejarawan Ery Sandra Amelia Moeis yang akrab disapa Ere Moeis, ketika berkunjung ke Lebak.
“Namun kenyataannya para pegawai pemerintahan pribumi belum sepenuhnya meninggalkan pola lama—feodal.” Akibatnya, eksploitasi penduduk itu justru dilakukan oleh para bupati atau demang.
Rumah Eduard tak jauh dari alun-alun. Halaman depannya yang dahulu pernah dihiasi kolam kini menjelma menjadi bagian kompleks RSUD dr. Adjidarmo. Kondisi rumah itu pun sangat memprihatinkan lantaran tidak utuh lagi—diperkosa bangunan baru. Hanya menyisakan sebagian atap, dinding samping, dan dinding belakang.
Novel yang berlatar budaya feodal dan masyarakat miskin di Lebak 1850-an ini memang melejitkan nama Eduard Douwes Dekker—dan menghentikan sistem tanam paksa. Namun, ironisnya hingga hari ini Lebak masih menjadi salah satu kabupaten termiskin di Banten. Seorang pamong praja berkata dengan nada optimis, “Nanti tahun 2014 kita telah bebas dari kemiskinan!”
Baca Juga: Kisah Tak Terperi Para Kuli Hindia Belanda
Baca Juga: Hotel des Indes: Dari Multatuli, Wallace, Sampai Tempat Bunuh Diri
Baca Juga: Kesadaran Pemerintah Kolonial Hindia Belanda untuk Melestarikan Hutan
Baca Juga: Penderitaan dan Terkaman Hewan Buas Mewarnai Tanam Paksa di Cirebon
Sungguh kehidupan yang dramatis, nasib Eduard tak semujur novelnya. Setelah tidak bekerja sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, dia kembali ke tanah kelahiran. Berbagai profesi dari redaktur hingga juru bahasa telah dicoba, namun kandas.
Kemudian meja judi menjadi pelarian Eduard, hingga dia jatuh miskin. Dia pindah ke sebuah kota pinggiran Sungai Rhein di Jerman, Ingelheim am Rhein. "Akhirnya, dia meninggal sebagai gelandangan," ujar Ere. "Dia tidak punya rumah."
Eduard memang pernah menjadi asisten residen di kota ini, namun apakah novel Max Havelaar merupakan kisah sejarah? Ere menuturkan bahwa tokoh-tokoh, peristiwa dan tempat yang disebutkan dalam karya Eduard memang pernah ada. Sementara, perilaku bupati yg memerintahkan rakyatnya untuk serahkan upeti dan kerja paksa merupakan hal wajar yang terjadi di beberapa daerah saat itu. “Kita percaya karena fenomena dalam novel itu benar terjadi di Hindia Belanda masa Cultuurstelsel.”
Artikel ini pernah terbit pada April 2013.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR