Nationalgeographic.co.id—Hal-hal yang dilakukan oleh orang Eropa sedikit banyak sangat mempengaruhi masyarakat di sekitarnya. Tak terkecuali, perihal budaya makan ala Eropa.
"Di Vorstenlanden (Yogyakarta dan Surakarta) misalnya, gaya hidup Eropa mampu menembus dinding keraton yang kental dengan kebudayaan Jawa," tulis Widyastika.
Laili Widyastika menulis dengan Heri Priyatmoko dalam Bandar Maulana Jurnal Sejarah dan Budaya berjudul Lidah Pribumi Bergoyang: Rijsttafel dan Gaya Hidup Elite Jawa di Vorstenlanden 1900-1942 yang terbit pada 2020.
Para elite di Jawa sudah terbiasa dengan nasi yang dihidangkan secara mewah di atas meja, sebut saja Rijsttafel. Ia merupakan santapan khas indis, perpaduan antara Belanda-Jawa.
Istana kraton di Vorstenlanden terdapat agen penyebar sekaligus pengemban kebudayaan Jawa. Agen itu meliputi para bangsawan dan priyayi, yang juga tak luput dari budaya makanan Eropa ini.
"Alhasil, rijsttafel tidak hanya menjadi media menunjukkan identitas bagi orang Belanda, tetapi juga para elite Jawa," imbuhnya.
Menurut Widyastika, makanan secara tidak langsung dijadikan sebagai tolok ukur identitas. Makanan dapat mendefinisikan dari golongan mana seseorang berasal.
Sejak pertama masuk ke dalam tembok keraton, rijsttafel sudah menarik hati para elite di dalamnya. Bukan cuma sajiannya yang prestisius, rasanya yang lezat khas Eropa membuat lidah para priyayi dan bangsawan Jawa bergoyang.
Rijsttafel yang tidak hanya terbatas pada orang-orang Eropa, tetapi juga masyarakat Jawa khususnya para elite Jawa, juga dijadikan sebagai identitas sosial.
Kuliner yang hadir di tengah-tengah meja makan para elite Jawa di Vorstenlanden terdiri dari berbagai macam jenis.
Dari sinilah mulai disajikan masakan-masakan baru, salah satunya rijsttafel yang merupakan hasil dari perpaduan resep asli Barat dan Cina. Seleranya juga disusuaikan dengan lidah orang Jawa.
"Makanan itu seperti bakmi, sup, bestik, frikadel (bergedel), sausage (sosis), dan lain sebagainya. Masakan-masakan tersebut biasanya disajikan dalam jamuan rijsttafel," terusnya.
Jajanan pasar khas Jawa juga melai tersaingi. Hadirnya berbagai macam jenis roti dari Barat, seperti roti kismis, bolu, biskuit, tart, dan lain sebagainya, mulai menghiasi meja makan para priyayi dan bangsawan.
Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Perkembangan Peradaban Priyayi (1987), menyebut bahwa minuman-minuman tradisional seperti dawet, gempol, cao dan lainnya juga turut tergusur.
"Minuman tradisional Jawa tergusur dengan adanya minuman Barat seperti lemonade (limun), setrup, air Belanda, bir, cola, dan lainnya," imbuh Sartono.
"Makanan dan minuman dalam rijsttafel itu disajikan tidak hanya pada jamuan makan biasa, tetapi juga ketika tamu dari Eropa yang berkunjung ke keraton," sambung Widyastika dan Heri.
Rijsttafel dianggap sebagai menu jamuan bagi para elite Jawa. Sebaliknya, saat para elite keraton makan biasa, mereka masih menyantap makanan tradisional khas Jawa. Meskipun, lama-kelamaan makanan Eropa mulai jadi santapan umum di dalam keraton kemudian hari.
Source | : | Bandar Maulana: Jurnal Sejarah dan Budaya |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR