Menurut para ahli, sudah seharusnya untuk memberi perhatian pada fakta bahwa aphantasia bukanlah kelainan, yang didefinisikan sebagai kegagalan fungsi tubuh atau penyakit-penyakit tertentu. Ini lebih merupakan cacat neurologis yang mempengaruhi otak tanpa risiko kesehatan yang serius.
Aphantasia pertama kali dicurigai pada tahun 1880 oleh Sir Francis Galton, seorang penjelajah, antropolog dan ahli eugenika, dan sepupu dari salah satu ilmuwan fenomenal abad ke-19, Charles Darwin. Galton selalu terpesona oleh kecerdasan manusia dan melakukan eksperimen inovatif untuk mewujudkan cara kerja mesin rumit yang berbasis di pikiran kita.
Pemikirannya selaras dengan filosofi absurd, yang didukung dengan riang oleh para pengamat kritis abad ke-20, seperti Sartre dan Camus. Jika ilmu sosial atau kognitif adalah tentang menjelaskan yang tak terduga.
Baca Juga: Sanxingdui: Wajah-wajah Aneh dari Budaya Misterius Tiongkok Kuno
Baca Juga: Inilah Cara yang Paling Ampuh Untuk Membedakan Anak Kembar Identik
Baca Juga: Kenakan Anting Besar, Inilah Rupa Wajah Wanita Zaman Perunggu
Baca Juga: Doppelgänger, Alasan di Balik Wajah Kembar Meski Bukan Saudara
Galton kemudian melakukan survei untuk mengetahui berapa banyak orang yang memiliki kemampuan untuk memvisualisasikan pikiran mereka. Anehnya, spekulasi menunjukkan bahwa 2,5 persen dari populasi di Inggris mungkin menderita kondisi ini, dengan kata lain, 1 dari 40 orang tidak bisa memvisualisasikan pemandangan di kepala mereka.
Namun, penelitian itu terbatas pada statistik dan bukan kondisi itu sendiri. Setelah kasus sporadis pasien psikiatri yang melaporkan hilangnya imajinasi secara tiba-tiba setelah kecelakaan, perhatian sekali lagi diarahkan ke topik ini.
Bagi orang dengan aphantasia, berimajinasi itu adalah hal tak masuk akal dan sulit mereka mengerti. Kondisi tersebut jugalah yang kemudian juga membuat mereka sulit untuk mengingat wajah seseorang dan bahkan orang terdekat mereka sekalipun. Mereka juga seperti sulit untuk sekedar menghitung domba sebelum tidur.
Source | : | Science ABC |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR