Nationalgeographic.co.id—Di abad ke-20, perlombaan menuju ruang angkasa adalah persaingan dua negara adidaya, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kini, perlombaan itu adalah ajang persaingan antara para pengusaha kaya yang mencoba membuat koloni di planet lain, dan membuat paket pariwisata antariksa.
Sebuah penelitian terbaru di jurnal Earth's Future oleh para peneliti University College London (UCL), University of Cambridge, dan Massachusetts Institute of Technology, mengungkap persaingan eksplorasi itu punya dampak akan kerusakan iklim. Penelitian itu berjudul Impact of Rocket Launch and Space Debris Air Pollutant Emissions on Stratospheric Ozone and Global Climate, diterbitkan 9 Juni 2022.
Pasalnya, partikel karbon hitam atau jelaga yang dipancarkan oleh roket mereka hampir 500 kali lebih efisien untuk menahan panas di atmosfer. Angka itu lebih tinggi dibandingkan dari sumber gabungan jelaga lainnya yang ada di permukana bumi dan pesawat. Dampaknya bisa menghasilkan efek iklim yang makin meningkat.
"Partikel jelaga dari peluncuran roket memiliki efek iklim yang jauh lebih besar daripada pesawat dan sumber lain yang terikat dengan Bumi, jadi peluncuran roket tidak perlu sebanyak penerbangan internasional untuk mendapatkan dampak serupa," kata Eloise Marais, rekan penulis dari Department of Geography di UCL, Inggris, dikutip dari Eurekalert.
Penelitian mereka mengungkap bahwa hilangnya total ozon saat ini karena roket kecil (biasanya milik swasta). Tren pertumbuhan saat ini di sekitar wisata ruang angkasa menujukkan potensi penipisan lapisan ozon stratosfer di atas Kutub Utara di masa depan pada musim semi.
Hal itu disebabkan polutan dari roket punya bahan bakar yang padat, dan pemanasan masuk kembali dari pesawat ruang angkasa bersama puing-puing yang sangat berbahaya buat ozon di stratosfer.
Mereka juga menggunakan demosntrasi terbaru oleh beberapa pengusaha pariwisata ruang angkasa seperti Virgin Galactic, Blue Origin, dan SpaceX. "Yang kami butuhkan sekarang adalah diskusi di antara para ahli tentang strategi terbaik untuk mengatur industri yang berkembang pesat ini," lanjut Marais.
“Studi ini memungkinkan kita memasuki era baru pariwisata luar angkasa dengan mata terbuka lebar terhadap potensi dampak. Pembicaraan tentang mengatur dampak lingkungan dari industri peluncuran luar angkasa perlu dimulai sekarang sehingga kita dapat meminimalkan kerusakan pada lapisan ozon stratosfer dan iklim,” Robert Ryan, penulis pertama studi dari Department of Geography UCL.
Hasil penelitian ini diungkap lewat model 3D untuk mengeksplorasi dampak peluncuran roket dan kembali pada 2019. Mereka juga membuat skenario dampak pariwisata luar angkasa yang diproyeksikan berdasarkan perlombaan ruang angkasa pengusaha kaya dunia baru-baru ini.
Para peneliti mengumpulkan informasi tentang bahan kimia dari semua 103 peluncuran roket pada 2019, bersama data terkait roket yang dapat digunakan kembali dan masuknya kembali sampah antariksa. Penelitian ini bertujuan untuk menjadi usulan penawaran untuk membangun skenario industri ruang angkasa yang tangguh di masa depan.
Data-data tersebu dimasukkan ke dalam model kimia atmosfer 3D untuk mengeksplorasi dampaknya terhadap iklim dan lapisan ozon.
Ternyata, mereka mengungkapkan, pemanasan akibat jelaga adalah 3,9 mW m-2 dari satu dekade roket kontemporer. Kebanyakan diisi oleh emisi dari roket berbahan bakar minyak tanah. Namun, peningkatan terjadi dua kali lipatnya (7,9 mW m-2) setelah tiga tahun emisi tambahan dari peluncuran wisata antariksa. Semua disebabkan oleh penggunaan minyak tanah oleh SpaceX dan bahan bakar karet sintetis hibrida yang dipakai Virgin Galactic.
Source | : | Eurekalert |
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR