Perang Jawa menciptakan trauma yang begitu besar bagi pemerintah kolonial Belanda. Jihad menjadi kata yang sangat menakutkan. Orang-orang Jawa yang dianggap sinkretis dan toleran tiba-tiba menjadi pemberang dan mudah membunuh. Kegelisahan ini kemudian mendorong pemerintah kolonial untuk mempelajari lebih dalam tentang Islam, agama orang Arab yang telah membuat orang Jawa memberontak.
Baca Juga: Kapitalisme Pemerintah Hindia Belanda dalam Prosesi Ibadah Haji
Baca Juga: Kecamuk Perang Jawa: Suratan Tragis Sang Pangeran yang Kesepian di Zaman Edan
Baca Juga: Pemahaman Unik Memaknai Ibadah Haji Pedagang Muslim di Yogyakarta
Pada awal 1880-an pemerintah kolonial Belanda mengundang Christian Snouck Hurgronje, doktor studi Islam di Universitas Leiden, untuk mengadakan studi menyeluruh tentang Nusantara, terutama pemeluk Islamnya. Snouck Hurgronje membuat satu laporan kepada pemerintah kolonial tetang mengapa kaum Muslim Nusantara dan khususnya orang-orang Jawa yang toleran menjadi mudah marah dan bersedia mati demi agama mereka.
Menurut Snouck Hurgronje, salah satu faktor penting yang membuat keberagaman orang-orang Jawa berubah adalah para haji dan pelajar Jawi yang pulang dari Mekkah. Mereka membawa konsep jihad dalam Islam. Pemerintah kolonial Belanda akhirnya mulai mengeluarkan kebijakan langsung terkait Islam, seperti pembatasan perjalanan haji dan pengawasan kiprah pelajar Nusantara di Mekkah.
Setelah pemerintahan Hindia-Belanda kalah dalam Perang Dunia II, Nusantara jatuh ke penguasa Jepang. Dalam persoalan pengurusan perjalanan ibadah haji, pemerintah Jepang tidak jauh berbeda dengan penguasa kolonial Hindia-Belanda. Pemerintah Jepang sangat khawatir dengan semangat jihad dan juga semangat pan-Islamisme yang dikobarkan para jamaah haji sepulang dari ritual ibadah di Mekkah sehingga pengaturan keberangkan haji juga dibuat rumit.
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR