Nationalgeographic.co.id—Orang-orang Eropa di Hindia Belanda telah menyadari kehadiran wanita Asia, termasuk wanita pribumi Jawa yang dianggap sebagai gundik dan rendahan.
Moch. Dimas Galuh Mahardika dan Muhammad Yusuf Efendi menulis dalam jurnal Historiography berjudul Kesenjangan sosial dan diskriminasi penduduk campuran (Mestizos) di Hindia Belanda yang terbit pada 2022.
"Banyak tulisan yang berasal dari tahun itu, memberikan julukan pada gundik Asia yakni perempuan-perempuan hitam, yang berkelakuan seperti ternak yang bersyahwat," tulis Dimas dan Yusuf.
Para wanita gundik itu juga dianggap bodoh, pembohong, dan liar karena bisa saja membunuh orang lain. Anak dari hasil perkawinan antara seorang perempuan (nyai) Asia dan pria Eropa menciptakan citra negatif.
Anak dari percampuran kedua ras itu (Jawa-Belanda) dikenal dengan sebutan indo. "Orang Eropa umumnya berpendapat bahwa percampuran kedua ras yang berbeda ini justru mengumpulkan sifat-sifat buruk dari keduanya," tambahnya.
Bahkan, Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: silang budaya jilid I batas-batas pembaratan (2005), menyebut orang Eropa di Hindia Belanda menjuluki anak indo dengan julukan anak kolong. Lebih jauh lagi, stigma Eropa melabeli sikap liar perempuan Asia lebih dominan dalam diri anak indo, ketimbang sikap berbudi orang Eropa.
Fenomena pergundikan (nyai) saat itu mulai dipandang sebagai suatu aib bagi kalangan Eropa. Nyai juga disalahkan atas perubahan sikap lelaki Eropa yang hidup tak beraturan seperti seorang inlander (pribumi), dan menjauhi sikap Eropa yang dipandang paling benar.
Kisah yang paling bisa dijadikan contoh adalah perundungan yang diterima Ernest Douwes Dekker selama bersekolah di Hogere Burger School (HBS). Ibunya yang merupakan Semarang totok, dipandang hina. Itulah yang menyebabkan Ernest dikucilkan oleh teman Eropanya.
Saking rasisnya, setelah tahun 1850-an pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan sebuah peraturan Reegering Reglement jo Indische Staatsregeling, tentang penggolongan penduduk Hindia Belanda berdasarkan ras.
Penggolongan atas ras tersebut terbagi dalam tiga kelompok besar: Eropa (Europeanen) yang meliputi orang-orang Eropa, indo dan Jepang; Timur Asing (Vreemde Oosterlingen) meliputi orang-orang Tionghoa, India, dan Arab; bumiputra (inlander) terdiri dari berbagai etnis lokal yang hidup di Kepulauan Hindia Timur.
Meski menduduki kelompok sosial kelas atas, mereka tetap mendapat pembatasan dan diskriminasi dari orang Eropa tulen. Indo dipandang berbeda karena biasanya memiliki warna kulit yang lebih gelap daripada Eropa tulen dan lebih suka berbahasa Melayu.
Baca Juga: Kapitalisme Pemerintah Hindia Belanda dalam Prosesi Ibadah Haji
Baca Juga: Pesona Pedesaan Tropis Pemikat Perjalanan Wisata di Hindia Belanda
Baca Juga: Buku Panduan Wisata ke Hindia Belanda yang Menawan Dunia Barat
Kondisi pendidikan yang tidak berpihak, kemiskinan, dan penelantaran yang berujung diskriminasi di sepanjang abad ke-19 terus dialami oleh penduduk peranakan indo. Penduduk indo memiliki perasaan dendam dan rasa frustrasi terhadap penduduk Eropa tulen.
"Terlebih lagi ketika orang Eropa yang status sosialnya tidak ingin tersaingi dengan eksistensi kaum indo di bidang pekerjaan, selalu mengganggu orang indo dan berusaha untuk menyingkirkannya dari lingkungan kerja," terusnya.
Hingga akhirnya, nepotisme menjadi lumrah di kalangan orang Eropa. Mereka membatasi pegawainya hanya di kalangan orang Eropa saja, dan tidak boleh bercampur dengan para indo di Hindia Belanda.
Dengan adanya ketimpangan sosial ini, lantas melahirkan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi di Jawa. Kebanyakan, tindak kriminal ini dilakukan oleh orang-orang indo yang frustasi dengan keputusan pemerintah.
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | jurnal Historiography |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR