Para arkeolog juga telah menemukan tembikar dan lampu minyak dari periode Mamluk dalam sejarah Yerusalem. Ketika Kesultanan Mamluk Mesir memerintah kota itu antara abad ke-13 dan ke-16.
Mereka juga menemukan artefak dari periode Bizantium, dari sekitar abad keempat hingga Yerusalem ditaklukkan oleh Khulafaur Rasyidin pada abad ketujuh.
Penemuan ini juga mencakup bukti ekstensif tentang kehadiran tentara Romawi di kota itu setelah tahun 135 M. Beberapa dekade setelah Kuil Kedua dihancurkan dan Yerusalem telah dibangun kembali sebagai kota Romawi pagan yang disebut Aelia Capitolina.
Nama tersebut diambil dari keluarga kaisar. Pada saat itu, Hadrian, dan kota itu didedikasikan untuk dewa utama Romawi Jupiter Capitolinus. Bangsa Romawi juga membangun sebuah kuil untuk dewa di Temple Mount.
Baca Juga: Ketika Invasi Romawi ke Jazirah Arab Berakhir dengan Bencana Kolosal
Baca Juga: Kisah Flamma, Gladiator Romawi dari Suriah yang Menolak Kebebasan
Baca Juga: Kapal Nemi: Teknologi Berpadu dengan Kegilaan Kaisar Romawi Caligula
Gutfeld mengatakan tampaknya orang Romawi telah membangun genangan air di atas sisa-sisa oven batu bata, mungkin untuk memanggang roti. Batu bata yang digunakan untuk membuat oven bertuliskan inisial LXF, untuk "Legio X Fretensis" -nama lengkap legiun ke-10 Romawi yang membuatnya.
Temuan paling spektakuler di situs tersebut, bagaimanapun, adalah kerangka sebuah vila kaya yang ditempati tepat sebelum Romawi menghancurkan Bait Suci Kedua pada tahun 70 M.
Pada saat vila itu ditempati, Kuil Kedua di dekatnya masih digunakan dan area itu akan dikhususkan untuk orang-orang yang sangat kaya.
"Vila ini unik karena benar-benar berada di tebing tepat di sebelah Temple Mount, di tempat di mana Anda tidak akan menemukan arsitektur karena kemiringannya," katanya. "Itu seperti 100 meter dari kuil, itu pasti salah satu real estat terbaik di Yerusalem."
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR