Nationalgeographic.co.id—Kota Solo yang dikenal hari ini, menyimpan beragam peristiwa historis. Perubahan morfologi terus menerus terjadi di kota ini, berikut juga peristiwa historis yang melekat di setiap peninggalan bersejarahnya.
Selain Bengawan Solo yang ikonik seperti lagu yang dipopulerkan Gesang, banyak juga sungai lainnya menyimpan nilai sejarah di dalamnya, sebut saja Kali Anyar.
Seperti yang ditulis Qomarun dan Budi Prayitno menulis dalam jurnal Dimensi Teknik Arsitektur berjudul Morfologi Kota Solo (1500-2000) yang terbit pada tahun 2007, bahwa sejumlah elit pernah mengupayakan penanggulangan banjir di Solo.
Sejak memasuki interval di abad ke-16, kemunculan moda transportasi kereta api meningkatkan mobilitas dan produkis masyarakat. Penggunaan kereta api mendorong peningkatan produktivitas kerja pribumi lewat pemberlakuan sistem tanam paksa 1830.
"Sistem tanam paksa yang pernah dimunculkan di tahun 1830, berakibat gundulnya hutan-hutan di daerah hinterland, sehingga secara akumulatif tanah-tanah daratan longsor," imbuh Qomarun dan Budi.
Kelongsoran tanah agaknya bukan masalah sepele. Tercatat, akibat terjadinya tanah longsor di tepian sungai berakibat pada penyempitan dan pendangkalan permukaan sungai. Adanya pendangkalan sungai Bengawan Solo juga mengkhawatirkan.
Kota Solo yang secara geografis terletak di kawasan lembah dan tempuran sungai, mudah sekali mengalami kebanjiran. Maka dari itu, upaya pencegahan banjir jadi proyek bersama bagi pihak Belanda, Kasunanan dan Mangkunegaran.
Mereka mengusung proyek besar penanggulangan bahaya banjir yang kapan saja bisa mengancam kehidupan masyarakat Kota Surakarta. Mereka memulainya dengan pembuatan sungai baru, kanal, hingga tanggul.
Baca Juga: Kemeriahan Karnaval Hari Jadi Pakubuwana X di Sriwedari Tahun 1917
Baca Juga: Bernaung di Bawah Atap Joglo: Hunian Para Priayi Aristokrat Jawa
Source | : | jurnal Dimensi Teknik Arsitektur |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR