Nationalgeographic.co.id—Hari ini kondisi bekas Rumah Sakit Kadipala (Kadipolo) mengenaskan, usang dan terbengkalai. Tak sedikit stigma mistis disandarkan padanya. Dari masa ke masa turut dalam cerita horor yang tak ada habisnya.
Di balik wajahnya yang terkesan angker, bangunan bekas rumah sakit ini punya sisi historis yang panjang. Bisa dikatakan bahwa kehadirannya di Surakarta menjadi yang ketiga tertua sepanjang sejarah.
Gusmiyuda Pri Martin menulis dalam skripsinya berjudul Revitalisasi Cagar Budaya Ex Rumah Sakit Kadipolo Solo Sebagai Museum Kesehatan Berbasis Wallness Tourism yang terbit di tahun 2022.
Ia menyebut bahwa "RS Kadipala jadi rumah sakit ketiga tertua di Surakarta setelah Zending Ziekenhuis (Rumah Sakit Jebres) dan Ziekenzorg Ziekenhuis (Rumah Sakit Mangkubumen)."
Kedua rumah sakit itu merupakan rintisan pemerintah Hindia Belanda yang dominan melayani orang-orang Eropa saja. Rumah sakit dan para dokter Belanda menjadi pelayan publik, meskipun masih menerapkan penggolongan pelayanan. Penetapan kelas sosial menjadi standarisasi pelayanan publik di zaman Hindia Belanda.
Stratifikasi atau penggolongan kelas sosial membagi orang Eropa sebagai pemuncak tatanan sosial, sedangkan kaum bumiputra atau pribumi (penduduk asli) menempati kelas terendah dalam stratifikasinya.
Akibat sering mendapatkan marjinalisasi dari pelayanan orang Eropa, masyarakat pribumi yang miskin mulai kesulitan mencari pelayanan kesehatan. Beruntung, beberapa tahun kemudian berdiri rumah sakit untuk pribumi.
Jauh sebelum pendirian rumah sakit untuk pribumi, Pakubuwana X memiliki seorang dokter pribumi yang tangkas dan berani. Ia adalah Radjiman Wedyodiningrat yang telah mengabdi sebagai dokter keraton sejak 1905.
Ia menjadi dokter di sebuah klinik yang menangani keluarga kerajaan. Ia menggagas klinik yang diberi nama Panti Hoesodo untuk melayani para abdi dalem keraton hingga masyarakat pribumi, khususnya yang kurang secara finansial.
Berkat loyalitas kerjanya bagi pelayanan kesehatan keraton, Radjiman mendapat gelar kehormatan Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.), tersemat dalam namanya, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat.
Di masa itu, Radjiman sudah menyadari penderitaan yang dirasakan para penduduk asli Jawa. Langkah ini penting sekali bagi dokter Radjiman, sebab dengan berdirinya rumah sakit akan sangat membantu pengembangan dan peningkatan pelayanan kesehatan untuk masyarakat.
A.T. Sugito menulis dalam bukunya berjudul Dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat Hasil Karya don Pengabdiannya yang terbit pada tahun 1998. Radjiman kemudian mengusulkan kepada Susuhunan Pakubuwana X untuk membuka pelayanan kesehatan publik khusus untuk pribumi.
"Mendengar gagasan tersebut, Sultan amat menyetujui," tulis Sugito. Rumah Sakit ini akhirnya berdiri pada 1915, dan diberi nama Panti Rogo yang terletak di Kadipala. Dikenal oleh warga dengan sebutan Rumah Sakit Kadipala Surakarta.
Berkat inisiasinya, Pakubuwana X memercayakan posisi kepemimpinan rumah sakit kepada Radjiman. "Pengelolaan rumah sakit memang membutuhkan keahlian khusus. Disinilah tampak bakat kepemimpinan dokter Radjiman," terusnya.
Keahliannya yang ia miliki sejak menimba ilmu di Berlin, Jerman ialah kebidanan dan kandungan. Di Kadipala jugalah ia mulai membuka kursus kebidanan dan kandungan bagi pribumi setempat yang ia beri nama voedvrouw.
Radjiman telah banyak berjasa dalam mengakomodasi RS Kadipala sebagai akses pelayanan kesehatan yang paling ramah untuk pribumi, khususnya masyarakat Surakarta. Ia mengabdikan dirinya untuk RS Kadipala dan Pakubuwana X hingga di tahun 1934.
Di usianya yang ke-55 tahun, Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat memutuskan untuk pensiun dari pengabdiannya sebagai dokter keraton, sekaligus pemimpin Rumah Sakit Kadipala. Kinerja baiknya diteruskan oleh dokter-dokter pribumi lainnya.
Eksistensi RS Kadipala terus berjaya seiring dengan kontrol ketat dari Pakubuwana X. Ia juga menyangga kebutuhan operasional rumah sakit tersebut hingga terus berjalan meski telah ditinggalkan Radjiman.
Nahas, 5 tahun setelah ditinggal Radjiman, Pakubuwana X turun takhta. RS Kadipala agak melemah di tahun-tahun berikutnya. Hingga kemerdekaan tiba, pada 1960, RS Kadipala jatuh ke tangan pemerintah Kota Surakarta.
Pada tahun 1977, pihak swasta berhak atas kepemilikan pribadi RS Kadipala yang sekaligus mendirikan SPK (Satuan Pendidikan Kerjasama) Kesehatan. Hanya berselang 5 tahun kemudian, pada 1982 RS Kaipala dikosongkan karena terjadi pemindahan ke Mojosongo oleh Departemen Kesehatan Pusat.
Baca Juga: Dari Rumah Sakit Orang Eropa, Ziekenzorg di Surakarta Melintang Zaman
Baca Juga: Peran Sarekat Islam sebagai Mediator Perkecuan di Surakarta Abad ke-20
Baca Juga: Sekolah Van Deventer, Jejak Lahirnya Guru-guru Perempuan di Surakarta
Terhitung sejak 1985, bangunan bekas rumah sakit yang mulai kosong, beralih fungsi menjadi mess klub sepak bola, Arseto FC. Tidak sedikit stigma horor menyelimuti para pemain.
Lama kelamaan, bangunan ini mulai ditinggalkan. Tanaman liar mulai tumbuh di dalam bangunan, merusak tembok, lantai hingga atapnya. Acara televisi bergenre horor satu demi satu tayang, membuat bangunan ini terkesan angker dan semakin dijauhi publik.
Beberapa pihak swasta yang hendak merubah statusnya menjadi mall publik terkendala karena statusnya. Kini, bangunan RS Kadipala tercatat sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB).
Source | : | eprints UMS,Dr. K.R.T. Rajiman Wedyodiningrat (1998) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR