Nationalgeographic.co.id—Satu tim ilmuwan telah mendokumentasikan luasnya keanekaragaman hayati di pegunungan tinggi yang ada di gunung tertinggi di Bumi, Gunung Everest. Mereka menggunakan DNA lingkungan (eDNA) yang dikumpulkan di wilayah tersebut.
Tim ilmuwan itu dipimpin oleh Wildlife Conservation Society (WCS) dan Appalachian State University. Mereka menemukan bukti 187 perintah taksonomi. Bukti itu ditemukan dari hanya 20 liter air yang dikumpulkan di salah satu lingkungan paling keras di Bumi di ketinggian 8.849 m.
Temuan tersebut telah diterbitkan di iScience yang merupakan jurnal akses terbuka. Makalah tersebut dapat diperoleh secara daring dengan judul "Estimating biodiversity across the tree of life on Mount Everest’s southern flank with environmental DNA."
Dijelaskan, tim mengumpulkan eDNA dari sampel air selama empat minggu di sepuluh kolam dan sungai antara 4.500 meter dan 5.500 meter.
Situs-situs tersebut termasuk area zona alpin yang ada di atas garis pohon dan berisi berbagai tanaman berbunga dan spesies semak. Bersama dengan zona aeolian yang melampaui kisaran tanaman berbunga dan semak di bagian paling atas biosfer.
Dari hanya 20 liter air, mereka mengidentifikasi organisme yang termasuk dalam 187 ordo taksonomi. Jumlah tersebut setara dengan 16,3 persen, atau seperenam, dari total ordo yang diketahui di seluruh pohon kehidupan—silsilah keluarga keanekaragaman hayati Bumi.
Menggunakan eDNA mencari jumlah jejak materi genetik yang ditinggalkan oleh organisme dan satwa liar menawarkan pendekatan yang lebih mudah diakses, cepat, dan komprehensif. Tujuannya untuk meningkatkan kapasitas survei untuk menilai keanekaragaman hayati di lingkungan perairan.
Sampel dikumpulkan menggunakan selongsong tertutup yang berisi filter yang menangkap materi genetik. Sampel tersebut kemudian dianalisis di laboratorium menggunakan metabarcoding DNA dan metodologi pengurutan lainnya.
WCS telah menggunakan eDNA untuk mendeteksi spesies langka dan terancam dari paus bungkuk hingga kura-kura cangkang lunak Swinhoe, salah satu spesies paling langka di planet ini.
Meskipun studi Everest berfokus pada identifikasi pada tingkat ordo, tim mampu mengidentifikasi banyak organisme hingga tingkat genus atau spesies.
Misalnya, tim mengidentifikasi rotifera dan tardigrada. Dua organisme ini adalah hewan kecil yang diketahui terdapat di lingkungan paling keras dan paling ekstrem dan dianggap sebagai salah satu hewan paling tangguh yang dikenal di Bumi.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim: Penyakit Patogen Manusia Kian Bertambah Parah
Baca Juga: 109 Hewan Hidup Ditemukan dalam Bagasi Nithya dan Zakia Menuju India
Baca Juga: Menjaga Keanekaragaman dan Kebutuhan Lewat Nilai Konservasi Tinggi
Selain itu, mereka mengidentifikasi ayam salju Tibet, yang ditemukan di Taman Nasional Sagarmatha. Mereka terkejut menemukan spesies seperti anjing dan ayam domestik, yang mewakili bagaimana aktivitas manusia memengaruhi lanskap.
Mereka juga mengidentifikasi pohon pinus, yang hanya ditemukan jauh di bawah bukit dari tempat mereka mengambil sampel. Itu menunjukkan bagaimana serbuk sari yang tertiup angin dapat naik ke daerah aliran sungai ini.
Organisme lain yang mereka identifikasi dari beberapa lokasi adalah lalat capung, yang dikenal sebagai spesies indikator perubahan lingkungan.
Inventarisasi eDNA akan membantu pemantauan hayati pegunungan tinggi Himalaya dan studi molekuler retrospektif di masa depan. Sehingga dapat menilai perubahan dari waktu ke waktu karena pemanasan yang dipicu oleh iklim, pencairan glasial, dan pengaruh yang disebabkan manusia pada ekosistem terkenal di dunia yang berubah dengan cepat ini.
Tracie Seimon salah seorang pemimpin tim lapangan mengatakan, bahwa lingkungan pegunungan tinggi dan aeolian sering dianggap tandus dan sebagian besar tanpa kehidupan. Padahal sebenarnya memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah.
Seimon adalah peneliti dari Program Kesehatan Zoologi WCS, salah satu pemimpin tim lapangan biologi Everest dan pemimpin penelitian.
"Lingkungan pegunungan tinggi termasuk Gunung Everest harus diakui sebagai target pemantauan keanekaragaman hayati jangka panjang yang berkelanjutan dari taksa alpin tinggi untuk melengkapi pemantauan bioklimatik dan penilaian dampak perubahan iklim," kata Seimon.
Karya ini juga merupakan bagian dari National Geographic and Rolex Perpetual Planet Everest Expedition tahun 2019.
Marisa Lim dari Wildlife Conservation Society, mengatakan: "Kami pergi mencari kehidupan di atap dunia. Inilah yang kami temukan," katanya.
"Namun, ceritanya tidak berakhir di sini. Ada lebih banyak yang bisa ditemukan dan kami berharap kami temuan membantu untuk menginformasikan eksplorasi masa depan."
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | IScience,Wildlife Conservation Society |
Penulis | : | Ricky Jenihansen |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR