Selama tiga tahun massa es itu terombang-ambing dan berkelok-kelok di perairan Arktik. Pada satu titik, massa itu melakukan perjalanan ke utara dan menghabiskan musim panas 1910 lebih jauh menuju kutub utara. Kemudian menangkap arus Labrador, yang membawa air beku ke selatan.
Sebagian besar gunung es mencair dalam tahun pertama dan kedua. 1 persen gunung es di belahan bumi utara yang bertahan di zona gurun ini. Akhirnya, hanya satu dari beberapa ribu gunung es yang akan mencapai 41 derajat utara. “Ini adalah garis lintang yang sama dengan New York City dan jalur kapal transatlantic,” tambah Stone.
Ketika tenggelam pada tahun 1912, Titanic tenggelam dengan kecepatan 4 km per jam. Kapal ini menghantam dasar laut dengan kecepatan lebih dari 48 km per jam. “Kuburannya” begitu terpencil sehingga lokasinya tetap menjadi misteri sampai tahun 1985. Saat itu, sebuah tim dengan kapal selam dan kapal laut dikembangkan pemerintah mengambil beberapa foto buram. Butuh tujuh puluh tiga tahun, hampir seumur hidup manusia, untuk menemukan kapal karam yang paling terkenal dan mempesona sepanjang masa.
Memburu kapal Titanic
Perburuan kapal Titanic begitu diminati sehingga dikisahkan di berbagai media. Sebagian besar orang melewatkan hal penting: apa yang terjadi dengan gunung es yang ditabrak oleh Titanic?
Gunung es selalu ada, tetapi salah satu yang menenggelamkan kapal penumpang terbesar itu hampir hilang. Setelah tiga tahun, massa es itu kemungkinan hanya memiliki satu minggu untuk bertahan, paling lama dua minggu. Gunung es menjadi semakin kecil saat mengarungi air yang lebih hangat.
Baca Juga: Harta Karun 200 Tahun dari 'Titanic of the East' Kembali ke Indonesia
Baca Juga: Film Titanic Versi Nazi Jerman: Berisi Propaganda Melawan Inggris
Baca Juga: Mengapa Tanda Bahaya Pertama yang Digunakan Titanic Bukan Sinyal SOS?
Mencair dari bawah, gunung es pun jadi semakin berat dan terbalik, diikuti oleh lebih banyak erosi. Sampai akhirnya, gunung es yang tadinya megah mencair hingga jadi seukuran bola basket dan perlahan hilang.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR