Nationalgeographic.co.id—Gelombang tsunami awal yang diciptakan oleh letusan gunung berapi bawah air Hunga Tonga Ha'apai di Tonga pada Januari 2022 mencapai ketinggian 90 meter. Ini sekitar sembilan kali lebih tinggi dari tsunami Jepang 2011 yang sangat merusak, menurut penelitian baru.
Sebuah tim peneliti internasional mengatakan letusan itu harus menjadi peringatan bagi kelompok internasional yang ingin melindungi orang-orang dari peristiwa serupa di masa depan. Mengklaim bahwa sistem deteksi dan pemantauan untuk tsunami berbasis gunung berapi adalah alat yang sebanding '30 tahun di belakang' yang digunakan untuk mendeteksi peristiwa berbasis gempa.
Dr Mohammad Heidarzadeh, Sekretaris Jenderal Komisi Tsunami Internasional dan dosen senior di Departemen Arsitektur & Teknik Sipil Universitas Bath, menulis penelitian bersama rekan-rekannya yang berbasis di Jepang, Selandia Baru, Inggris, dan Kroasia.
Sebagai perbandingan, gelombang tsunami terbesar akibat gempa sebelum peristiwa Tonga tercatat setelah gempa Tohoku di dekat Jepang pada tahun 2011 dan gempa Chili tahun 1960. Dengan ketinggian awal mencapai 10 meter. Itu lebih merusak karena terjadi lebih dekat ke daratan, dengan gelombang yang lebih lebar.
Dr Heidarzadeh mengatakan tsunami Tonga harus menjadi peringatan untuk kesiapsiagaan dan pemahaman lebih lanjut tentang penyebab dan tanda-tanda tsunami yang disebabkan oleh letusan gunung berapi.
"Tsunami Tonga secara tragis menewaskan lima orang dan menyebabkan kerusakan skala besar. Tetapi dampaknya bisa lebih besar jika gunung berapi itu terletak lebih dekat dengan komunitas manusia. Gunung berapi ini terletak sekitar 70 km dari ibu kota Tonga, Nuku'alofa - jarak ini secara signifikan meminimalkan kekuatan penghancurnya.” kata Heidarzadeh.
Dia menambahkan, “Ini adalah peristiwa besar, unik dan yang menyoroti bahwa secara internasional kita harus berinvestasi dalam meningkatkan sistem untuk mendeteksi tsunami vulkanik. Karena saat ini sekitar 30 tahun di belakang sistem yang kita gunakan ini untuk memantau gempa bumi. Kita kurang siap untuk tsunami vulkanik."
Penelitian dilakukan dengan menganalisis rekaman data pengamatan laut, perubahan tekanan atmosfer dan osilasi permukaan laut. Dikombinasikan dengan simulasi komputer yang divalidasi dengan data dunia nyata.
Tim peneliti menemukan bahwa tsunami itu unik karena gelombang tidak hanya diciptakan oleh air yang dipindahkan oleh letusan gunung berapi. Akan tetapi juga oleh gelombang tekanan atmosfer yang besar, yang berputar di seluruh dunia beberapa kali. 'Mekanisme ganda' ini menciptakan tsunami dua bagian - di mana gelombang laut awal yang diciptakan oleh gelombang tekanan atmosfer diikuti lebih dari satu jam kemudian oleh gelombang kedua yang diciptakan oleh perpindahan air letusan.
Kombinasi ini berarti pusat peringatan tsunami tidak mendeteksi gelombang awal. Sebab, mereka diprogram untuk mendeteksi tsunami berdasarkan perpindahan air daripada gelombang tekanan atmosfer.
Tim peneliti juga menemukan bahwa peristiwa Januari adalah salah satu dari sedikit tsunami yang cukup kuat untuk melakukan perjalanan di seluruh dunia. Itu tercatat di semua lautan dunia dan laut besar dari Jepang. Juga pesisir barat Amerika Serikat di Samudra Pasifik Utara hingga pantai di dalam Laut Mediterania.
Baca Juga: Gunung Api Tonga Menimbulkan Gelombang Hampir Secepat Kecepatan Suara
Baca Juga: Dahsyatnya Letusan Gunung Hunga Tonga Mirip Dengan Krakatau Tahun 1883
Baca Juga: Efek Letusan Gunung Berapi Tonga Ditemukan Mencapai Luar Angkasa
Baca Juga: Ledakan Gunung Berapi di Tonga, Berdampak Luas Pada Kehidupan Bumi
Baca Juga: Letusan Gunung Berapi di Tonga, Peristiwa 'Sekali dalam Satu Milenium'
Hasil kajian ini telah diterbitkan di jurnal Ocean Engineering pada 13 Agustus 2022. Makalah tersebut diberi judul Estimating the eruption-induced water displacement source of the 15 January 2022 Tonga volcanic tsunami from tsunami spectra and numerical modelling.
"Gunung berapi Anak Krakatau 2018 dan letusan gunung berapi Hunga Tonga-Hunga Ha'apai 2022 dengan jelas menunjukkan kepada kita bahwa daerah pesisir di sekitar pulau-pulau gunung berapi berisiko terkena bencana tsunami destruktif. Meskipun mungkin lebih baik untuk memiliki daerah pesisir dataran rendah yang benar-benar bersih dari bangunan tempat tinggal. Kebijakan seperti itu mungkin tidak praktis untuk beberapa tempat karena tsunami vulkanik dapat dianggap sebagai peristiwa yang jarang terjadi." tutur Dr Aditya Gusman, Tsunami Modeller di layanan geosains yang berbasis di Selandia Baru.
Rekan penulis Dr Jadranka epić, dari University of Split, Kroasia, menambahkan: "Yang penting adalah memiliki sistem peringatan yang efisien, yang mencakup peringatan waktu nyata dan pendidikan tentang apa yang harus dilakukan jika terjadi tsunami atau peringatan - sistem seperti itu menyelamatkan nyawa.”
Simak kisah-kisah selidik sains dan gemuruh penjelajahan dari penjuru dunia yang hadir setiap bulan melalui majalah National Geographic Indonesia. Cara berlangganan via bit.ly/majalahnatgeo
Source | : | Phys.org |
Penulis | : | Wawan Setiawan |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR