"Bekicot itu kan hama tanaman sawah. Saya coba untuk gunakan cangkangnya sebagai musik pengiring lakon wayang," jelas Marsono.
Tak tanggung-tanggung, kreasi wayang sada Marsono tidak hanya dari segi bahan dan bentuk. Wayang sada punya kisahnya sendiri dalam pementasan. Ada dua kisah yang dibuat Marsono yakni terkait dengan penemuan Gua Pindul sebagai wisata alam, dan Cangkir Gading Kromo. Cangkir Gading Kromo adalah cerita fabel yang terinspirasi dari siklus hidup pohon kelapa yang identik dengan lingkungan Marsono.
Sayangnya, wayang sada sebagai bentuk baru wayang menghadapi tantangan besar untuk generasi penerusnya. Marsono mengungkapkan, sebenarnya antusiasme generasi muda sangat tinggi. Dia memberikan contoh bahwa keponakannya pernah mengambil wayang sada yang pertama kali Marsono buat karena bentuknya yang menarik.
Anak-anak SD hingga SMP juga antusias untuk berkunjung, menurut Marsono. Masalahnya, ketika anak-anak ini lulus dan melanjutkan kehidupannya di kota, wayang ini dilupakan oleh mereka. Belum lagi, di tempat rantauan belum tentu ada limbah atau bahan baku yang layak untuk membuat wayang sada.
Saat ini, Marsono mengandalkan Rofitasari Rahayu. Dia biasa disapa sebagai Ayu yang merupakan kawan tuli dan bisu. Marsono memandang, ia punya keterampilan seni yang luar biasa, tidak hanya di wayang sada tetapi juga seni lukis.
Pelajaran perjalanan kali ini membuktikan bahwa masyarakat, terutama di Gunungkidul, punya cerita untuk mengubah diri. Mereka punya cara pandang bagaimana mengubah pandangan negatif menjadi peluang untuk mengenal alam. Pandangan baru mereka juga membuka peluang bahwa budaya bisa berhubungan dengan menjaga lingkungan dari limbah.
Sanggup Serap Ratusan Juta Ton CO2, Terobosan Ini Diklaim Cocok Diterapkan di Indonesia
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR