Sebuah gapura dan suasana praja yang terkesan mendapat pengaruh "Belandanisasi" Mangkunegaran karena merayakan momen pernikahan Putri Juliana dan Pangeran Bernhard.
Baca Juga: Gusti Noeroel, Permata Mangkunagaran Penyatu Wangsa Mataram
Baca Juga: Meneladani Mangkunegara VI, Sang Reformis yang Nyaris Terlupakan
Baca Juga: Tari Bedhaya, Jejak Perlawanan Mangkunegara I dalam Geger Pacinan
Simbolisme pada gapura itu melambangkan keeratan hubungan antara Mangkunegaran dengan Kerajaan Belanda. Hal itu juga digambarkan dalam Mangkoenegoro VII & Awal Penyiaran Indonesia (2011) karya Harry Wiryawan, Mangkunegara VII hadir ke pernikahan Putri Juliana di Den Haag.
Tidak hanya hadir sebagai tamu undangan, Mangkunegara VII juga mendampingi putrinya, Goesti Noeroel Kamaril Ngarasati untuk membawakan tarian yang memikat seluruh tamu undangan sekaligus empunya hajat.
Terlihat dalam sebuah foto, keluarga Kerajaan Belanda bertemu dengan Gusti Noeroel untuk mengucapkan rasa terima kasih.
Setelah penampilan di hari berbahagia itu, Putri Juliana dan Ratu Wilhelmina kerap berkunjung ke Nusantara untuk menyaksikan banyak kebudayaan lokal di Hindia Belanda. Mereka "dibuat penasaran" dengan penampilan memukau Gusti Noeroel.
Hubungan yang rekat antara Mangkunegara VII dengan keluarga Kerajaan Belanda juga berlangsung cukup lama. Begitupun dengan pernikahan antara Juliana dan Bernhard juga berlangsung seumur hidup mereka.
Juliana dan Bernhard kemudian memiliki empat putri sebelum, pada tahun 1948, ia menjadi Ratu Belanda bertepatan dengan turun takhtanya Wilhelmina.
Juliana memerintah selama tiga puluh dua tahun sebelum akhirnya mengundurkan diri untuk anak pertamanya sendiri, Prinses Beatrix. Ia meninggal pada 20 Maret 2004 dan suaminya meninggal hanya sembilan bulan kemudian. Mereka dimakamkan bersama di Delft.
Source | : | Royal Central (UK) |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR