Kapten, André de Santiago, menanggapi dengan baik apa yang menurut João dos Santos sebagai 'permintaan saleh' dengan mengumpulkan kekuatan tentara Portugis untuk membantu merebut kembali tanah sekutunya.
Namun, setelah mencapai perkemahan tentara Zimba, mereka menemukan kamp Zimba telah dibarikade dengan aman. Kekuatan benteng memaksa Santiago untuk menilai kembali strateginya, terlepas dari dua buah meriam yang dia bawa dari benteng.
Orang-orang Portugis mendirikan kemah, ia mengirim bala bantuan dari benteng Portugis lainnya di Tete, yang terletak lebih jauh di atas Zambesi. Bala bantuan ini terdiri dari lebih dari 100 tentara Portugis dan Afro-Portugis bersenjata.
Namun, telik sandi Zimba mengetahui kedatangan Portugis yang hendak menyerang. Tentara Zimba meninggalkan bentengnya di bawah perlindungan malam untuk menyergap bala bantuan dalam perjalanan, mereka bergerilya.
Orang Zimba yang mengetahui kedatangan mereka, lantas menyerang mereka secara tiba-tiba dengan kekerasan sedemikian rupa sehingga dalam waktu singkat mereka semua terbunuh.
"Tidak ada yang selamat dalam pengepungan itu," ungkapnya lagi. Setelah membunuh mereka, para Muzimba memotong kaki dan tangan mereka, yang mereka bawa di punggung mereka dengan semua barang bawaan dan senjata yang mereka bawa.
Setelah itu mereka kembali ke benteng mereka. Ketika para pemimpin dan pasukan Afrika mencapai semak-semak dalam upaya menyusul penyerangan, mereka menemukan semua orang Portugis dan kapten mereka tewas secara tragis. Mereka kembali dari tempat itu dan mundur ke Tete. Mereka kemudian menceritakan peristiwa menyedihkan yang telah terjadi.
João dos Santos tak terima dengan kekalahan dan bersiap membangun kekuatan militer yang lebih besar lagi. Alhasil, pertempuran antara Zimba dan Portugis terjadi berlarut-larut.
Bagaimanapun, orang-orang Eropa dengan kemampuan militer dan kesiapan persenjataan tetap mendominasi. Zimba yang sadis itu akhirnya dapat ditaklukan dan hanya menyisakan 100 orang (mereka melarikan diri) dari ratusan ribu komunitas mereka di Afrika.
Semua penggambaran ini dikisahkan secara tragis dan dramatis dalam jurnal gubahan Allina yang bersumber dari Ethiopia Oriental (1995), tentang suatu komunitas bernama Zimba yang memiliki tradisi kanibal dan sadis.
Source | : | journal of South Africa Studies |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Warsono |
KOMENTAR