Nationalgeographic.co.id—Bangsa Romawi tampaknya tidak pernah kekurangan cara untuk menghukum orang yang bersalah. Mulai dari penyaliban, penghapusan memori tentang seseorang, hingga menjadi umpan binatang buas. Selain itu, ada eksekusi yang diberikan untuk kejahatan terburuk atau pengkhiatan. Si terdakwa atau pengkhianat Romawi dilempar dari Tebing Tarpeian. Ini merupakan sebuah tebing di Bukit Capitoline yang diberi nama sesuai dengan mitos Tarpeia.
Menurut sumber-sumber kuno, banyak orang-orang Romawi yang terkenal menemui ajalnya di batu tersohor itu.
Eksekusi di Tebing Tarpeian
Tebing Tarpeian (Rupe Tarpea) adalah tebing curam yang terletak di sisi selatan Bukit Capitoline, tepat di atas Forum Romawi. Selama berabad-abad, lokasi itu digunakan sebagai situs eksekusi.
Orang-orang yang dihukum karena kejahatan dilemparkan dari tebing setinggi 25 meter ke Forum di yang berada di bawahnya. Metode eksekusi menimbulkan rasa malu yang sangat besar. “Seringkali dianggap sebagai nasib yang lebih buruk daripada kematian,” tutur Kaushik Patowary di laman Amusing Planet.
Kesalahan apa yang dilakukan hingga seseorang bisa mendapatkan hukuman seperti itu? Lompat dari Tebing Tarpeian menjadi hukuman untuk kejahatan yang dianggap sangat keji. Misalnya pengkhianatan, pembunuhan, dan sumpah palsu.
Menghadap ke arah Forum yang jadi pusat pemerintahan, bukit ini jadi tempat ideal untuk tindakan biadab itu.
Menaiki Tangga Ratapan menuju lokasi eksekusi
Lokasi sebenarnya masih menjadi banyak perdebatan. Dionysius dari Halicarnassus menggambarkannya menghadap ke Forum. Sedangkan sejarawan percaya bahwa tebing itu berada di sisi tenggara puncak Arx.
Sebuah tebing berada di atas penjara Romawi, dekat gedung senat. Tempat itu dapat dicapai dengan Tangga Gemonian atau Tangga Ratapan (Scalae Gemoniae).
Tangga juga digunakan untuk mengekspos penjahat yang dieksekusi. Jadi, saat menaiki tangga menuju ke tebing, musuh atau masyarakat berkesempatan untuk melecehkan terdakwa.
Selain mudah diakses, eksekusi pun terlihat jelas dari bawah. Maka, tempat itu pun jadi sumber “hiburan” orang Romawi.
Legenda Tarpeia
Menurut legenda, Tarpeia, putri komandan Romawi Spurius Tarpeius, mengkhianati Roma. Ia membuka pintu kota untuk raja Sabine Titus Tatius. Tatius menyerang Roma setelah peristiwa Pemerkosaan Sabine selama abad ke-8 Sebelum Masehi.
Tarpeia dipengaruhi oleh raja musuh. Ia sangat bernafsu akan emas dan permata maka ia setuju untuk berkhianat. Meskipun dia membantu Sabine, mereka tetap membunuhnya dan menguburkannya di tempat yang disebut Tebing Tarpeian. Sejak itu, tebing tersebut menjadi tempat eksekusi para pengkhianat.
Di tempat itu, orang Sabines pernah membangun kuil yang kemudian dihancurkan sekitar 500 Sebelum Masehi oleh Raja Roma ketujuh dan terakhir. Tarquinius Superbus, sang raja, meratakan area untuk membangun Kuil Jupiter Capitolinus dan menjadi kuil terpenting di masanya.
Tebing Tarpeian kemudian digunakan untuk eksekusi sampai akhir abad pertama.
Metode eksekusi mengerikan ala bangsa Romawi
Ada beberapa bentuk hukuman lain untuk kejahatan tertentu, seperti mengubur hidup -hidup, yang dijatuhi hukuman perawan vestal yang ditemukan melanggar sumpah selibat. Juga penyaliban, yang dianggap sebagai cara yang menyakitkan dan memalukan untuk mati. Warga Romawi umumnya menghindari bentuk hukuman yang brutal ini, Patowary menambahkan.
Salah satu metode yang tidak kalah mengerikannya disebut Poena Cullei atau “hukuman karung”. Terdakwa dimasukkan ke dalam karung bersama dengan bermacam -macam hewan hidup, paling umum ayam, anjing, monyet dan ular. Karung itu kemudian dilempat ke dalam air.
Colosseum sering digunakan untuk jenis eksekusi dengan hewan buas, dikenal sebagai bestatio ad bestias.
Sebagian besar eksekusi biasanya menimbulkan rasa malu, pasalnya, pelaksanaan eksekusi menjadi tontonan masyarakat. Sama halnya seperti pengkhiat Romawi yang dilempar dari Tebing Tarpeian ini.
Bukan Perubahan Iklim yang Pengaruhi Gunung Es Terbesar di Antartika, Lalu Apa?
Source | : | Amusing Planet |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR