Nationalgeographic.co.id—Apakah Anda takut pada badut, balon, atau mungkin laba-laba? Sebagian besar manusia memiliki fobia terhadap hal tertentu. Namun pernahkah Anda bertanya-tanya apa yang membuat manusia mengalami fobia terhadap sesuatu?
Mengapa manusia mengalami ketakutan dan fobia?
Pertama, penting untuk dicatat perbedaan antara fobia dan reaksi wajar terhadap sesuatu berbahaya atau tidak dapat diprediksi.
"Fobia adalah ketakutan akan situasi atau objek tertentu yang tidak proporsional dengan realitas objektif. Dan ini mengganggu kehidupan seseorang," ungkap Ron Rapee, pendiri Centre for Emotional Health di Macquarie University.
Kebanyakan fobia pada dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dan hanya berbeda dalam fokus ketakutan tertentu.
Karakteristik umum termasuk menghindari situasi atau objek yang ditakuti serta muncul pikiran khawatir atau negatif. Selain itu, terdapat gejala fisik ketika menghadapi ketakutan, seperti peningkatan detak jantung, pelebaran pupil, dan peningkatan laju pernapasan.
Kebanyakan orang akan berhati-hati dan waspada saat menghadapi situasi atau objek berbahaya. Namun orang yang memiliki fobia cenderung dicap memiliki ketakutan berlebihan atau tidak rasional.
Rapee menambahkan, “Mungkin saja beberapa fobia yang paling umum, seperti takut ketinggian (acrophobia), sebenarnya muncul karena tekanan evolusi.”
Dalam kebanyakan kasus, fobia ditemukan dalam kaitannya dengan objek dan situasi yang realistis dan masuk akal secara evolusioner. Misalnya, seseorang hampir tidak pernah melihat fobia kabel atau soket listrik, walaupun ini dapat membahayakan. Tetapi kita mungkin sering mendengar tentang fobia laba-laba atau ular. Dengan kata lain, hal-hal tersebut dapat membunuh manusia di zaman kuno.
Bagaimana ketakutan berkembang menjadi fobia?
Namun, masih belum jelas mengapa ketakutan atau kehati-hatian berkembang menjadi fobia bagi sebagian orang, tetapi tidak semua.
“Teori umum adalah bahwa fobia 'dipelajari' pada periode perkembangan utama, biasanya di awal kehidupan. Kebanyakan fobia pertama kali muncul di masa kanak-kanak," kata Rapee. Pembelajaran ini mungkin berasal dari pengalaman buruk, misalnya digigit anjing.
Tetapi tidak jarang orang dengan fobia tidak dapat mengungkapkan pengalaman traumatis tertentu yang menyebabkan fobia.
Teori psikodinamik, pertama kali direnungkan oleh Sigmund Freud, menunjukkan bahwa banyak perilaku dan ketakutan dapat dikaitkan dengan pengalaman di masa kanak-kanak. Dalam kasus-kasus yang sangat traumatis, ingatan tentang peristiwa-peristiwa awal kehidupan ini dapat ditekan dan berubah jadi fobia.
Namun beberapa ahli tidak setuju dengan teori psikodinamik. Faktanya, seseorang tidak harus memiliki pengalaman negatif untuk mengembangkan fobia. Mereka bisa melihat orang lain mengalami pengalaman buruk atau mendapatkan peringatan berulang kali tentang sesuatu yang berbahaya.
Dengan kata lain, orang tua yang sering memperingatkan anak tentang laut yang berbahaya. Atau orang yang menonton film seperti "Jaws" dan "Titanic" yang menampilkan laut sebagai ancaman dan mematikan. Pengalaman tersebut mengatalisasi perkembangan thalassophobia, rasa takut akan bahaya badan air yang besar.
"Seiring waktu, ini dapat menyebabkan ketakutan yang mengelompok secara budaya di sekitar hewan, objek, atau situasi tertentu," Chris Askew, dosen psikologi di University of Surrey.
Tapi mungkin saja tidak semua fobia dipelajari. Beberapa psikolog telah menyarankan bahwa kekhawatiran tertentu mungkin sebenarnya bawaan. Konsep ini dikenal dengan sebutan nonassociative account. Berdasarkan konsep ini, manusia secara genetik cenderung takut akan hal-hal tertentu dan pengalaman belajar yang negatif tidak diperlukan.
Meskipun ide ini masih diperdebatkan, tampaknya orang-orang dengan ciri-ciri tertentu lebih mungkin mengembangkan fobia.
Misalnya, orang yang lebih takut dan emosional secara temperamental cenderung lebih mungkin mengembangkan fobia, kata Rapee. Orang dengan tipe emosional lebih cenderung memiliki berbagai ketakutan dan fobia, termasuk ketakutan akan air.
"Sifat bawaan atau temperamen mungkin menjadi faktor risiko," Kelvin Wong, seorang psikolog klinis di La Trobe University. Contohnya adalah neurotisisme atau kepribadian seseorang di mana mereka mengalami dunia sebagai menyedihkan, mengancam, atau tidak aman. Contoh lain adalah penghambatan perilaku yang menggambarkan temperamen yang bereaksi buruk terhadap situasi baru.
Baca Juga: Vaksin Covid-19 Berbentuk Plester, Solusi untuk Fobia Jarum Suntik
Baca Juga: Alasan Beberapa Orang Takut Naik Pesawat dan Cara Mengatasinya
Baca Juga: Mengenal Pagofobia, Rasa Takut Kepada Es dan Sesuatu yang Dingin
Baca Juga: Aneh Namun Unik, Fobia ini Membuat Orang Jadi Takut Untuk Mandi
Menurut Askew, fobia dan perasaan cemas bahkan bisa diturunkan dalam keluarga. "Mungkin beberapa orang secara genetik lebih cenderung mengembangkan fobia," kata Askew. Memang, penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis Dialogues in Clinical Neuroscience menemukan bahwa gangguan kecemasan umum sekitar 30% diturunkan.
Mengapa orang cenderung mempertahankan fobia untuk waktu yang lama? Dan apakah mungkin untuk menyingkirkan fobia itu?
"Fobia mungkin bertahan lama karena kebanyakan orang dengan fobia menghindari hal yang mereka takuti," kata Rapee. Dengan kata lain, mereka melakukan segala cara agar tidak menghadapi objek atau situasi. Dengan cara ini, seseorang mempertahankan ketakutan mereka.
"Untuk mengatasi fobia, Anda perlu menghadapi ketakutan Anda," katanya. Dalam istilah profesional, ini biasanya disebut sebagai terapi pemaparan. Orang perlu secara sistematis dan berulang kali menghadapi situasi terkait dengan ketakutan mereka di lingkungan yang aman.
Bila ini dilakukan dengan benar dan konsisten, maka bukan tidak mungkin fobia bisa diatasi. Targetnya adalah agar seseorang secara bertahap mendekati stimulus fobia untuk belajar bahwa apa yang ditakuti tidak akan terjadi.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR