Nationalgeographic.co.id—Sekitar tahun 165 Masehi, kota Anatolia, Hierapolis, mendirikan patung dewa Apollo Alexikakos. Sang dewa merupakan “penghalang kejahatan”, yang akan melindungi dari penyakit menular baru yang mengerikan. Penderitanya pun mengalami gejala mengerikan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Kekaisaran Romawi pun terkena dampaknya. Korban berjatuhan, kengerian menyebar ke seluruh penjuru negeri. Namun meski mengerikan, ada pelajaran berharga yang bisa dipetik dari wabah Antoninus yang mematikan di zaman Romawi.
Wabah mematikan yang menyerang Romawi
Korban diketahui menderita demam, menggigil, sakit perut dan diare. Mereka juga mengembangkan bintik-bintik hitam yang mengerikan di tubuh mereka, baik di dalam maupun di luar. “Bintik ini kemudian mengelupas dan meninggalkan bekas luka yang merusak,” ungkap Edward Watts di laman Smithsonian Magazine.
Tidak jarang mereka batuk atau memiliki koreng yang terbentuk di dalam tubuh mereka. Korban menderita dengan cara ini selama dua atau bahkan tiga minggu sebelum penyakitnya akhirnya mereda.
Mungkin 10 persen dari 75 juta orang yang tinggal di Kekaisaran Romawi tidak pernah pulih. "Seperti binatang buas," tulis seorang kontemporer. Penyakit itu menghancurkan tidak hanya beberapa orang tetapi juga mengamuk di seluruh kota dan menghancurkan mereka.
Cacar telah menyerang Romawi
Penyakit menular telah lama menjadi bagian dari kehidupan Romawi. Bahkan orang Romawi terkaya pun tidak bisa lepas dari teror itu.
Malaria dan penyakit usus, tentu saja, merajalela. Tetapi beberapa penyakit yang diderita orang Romawi mengganggu pikiran. Seperti demam yang ganas, penyakit yang tidak berguna, dan cacing yang hidup dalam luka yang membusuk dan tidak dapat disembuhkan.
Tapi cacar berbeda. Epidemi cacar pertama di Romawi dimulai sebagai desas-desus yang menakutkan dari timur. Awalnya, menyebar melalui percakapan yang sering kali secara bersamaan menyebarkan berita tentang penyakit dan virus itu sendiri. Patogen bergerak diam-diam pada awalnya. Kemudian orang-orang pertama kali menunjukkan gejala dua minggu atau lebih setelah tertular.
Wabah bertambah dan berkurang selama satu generasi, memuncak pada tahun 189. Seorang saksi mengingat bahwa 2.000 orang meninggal per hari di kota Roma yang padat. Cacar menghancurkan sebagian besar masyarakat Romawi.
Wabah itu begitu menghancurkan tentara profesional kekaisaran sehingga serangan militer dibatalkan. Ini menghancurkan aristokrasi sedemikian rupa sehingga dewan kota berjuang untuk bertemu. Posisi hakim lokal tidak terisi dan organisasi masyarakat gagal karena kekurangan anggota. Ini memotong petak-petak yang begitu dalam melalui kaum tani sehingga pertanian yang ditinggalkan.
Peneliti Ungkap Hubungan Tanaman dan Bahasa Abui yang Terancam Punah di Pulau Alor
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR