Efek psikologisnya, jika ada, bahkan lebih parah. Guru Aelius Aristides selamat dari wabah selama perjalanan pertamanya melalui kekaisaran pada tahun 160-an. Aristides menjadi yakin bahwa dia hidup hanya karena para dewa memilih korban muda. Dan itu pun menimbulkan perasaan bersalah pada dirinya.
Namun, yang terpenting, penyakit itu menyebarkan ketakutan. Cacar membunuh secara besar-besaran, mengerikan, dan bergelombang. Ketakutan di antara orang Romawi begitu terasa saat itu. Hal ini didukung oleh temuan jimat-jimat. Para arkeolog menemukan jimat dan batu-batu kecil yang diukir oleh orang-orang yang berusaha mati-matian untuk menangkal penyakit sampar.
Ketangguhan Kekaisaran Romawi dalam melawan wabah
“Dalam menghadapi serangan cacar yang berkelanjutan, ketangguhan kekaisaran menakjubkan,” Watts menambahkan.
Orang Romawi pertama-tama menanggapi tulah dengan memanggil para dewa. Seperti Hierapolis, banyak kota di seluruh dunia Romawi mengirim delegasi ke Apollo. Mereka meminta nasihat dewa tentang cara bertahan hidup. Kota-kota mengirimkan delegasi secara kolektif, sebuah penegasan kekuatan komunitas untuk berdiri bersama di tengah kengerian.
Dan ketika komunitas mulai goyah, kekaisaran memperkuat penduduknya. Kaisar Marcus Aurelius menanggapi kematian begitu banyak tentara dengan merekrut budak dan gladiator ke legiun. Ia mengisi lahan pertanian yang ditinggalkan dan kota-kota yang tidak berpenghuni. “Caranya dengan mengundang para migran dari luar kekaisaran untuk menetap di dalam batas-batasnya,” imbuh Watts.
Kota-kota yang kehilangan banyak bangsawan diisi lagi dengan berbagai cara. Kekosongan di dewan bahkan diisi dengan anak-anak budak yang dibebaskan. Kekaisaran terus berjalan, meskipun kematian dan teror dalam skala yang belum pernah dilihat siapa pun di masa itu.
Pelajaran dari wabah Antoninus yang mematikan
Masyarakat Romawi pulih dengan baik dari cacar sehingga. Sejarawan Edward Gibbon berpendapat bahwa peristiwa monumental yang menyebabkan menurunnya kejayaan Romawi bukanlah wabah di masa Kaisar Romawi Marcus Aurelius. Namun alih-alih wabah, kematian Aurelius-lah yang menjadi awal kejatuhan Kekaisaran Romawi.
Bagi Gibbon, pemerintahan Aurelius adalah periode dalam sejarah dunia di mana kondisi umat manusia paling bahagia dan makmur.
Sejarawan lain pun sependapat dengan Gibbon. Pada pergantian abad ke-3, senator dan sejarawan Romawi Cassius Dio menyebut masa di mana Marcus Aurelius memimpin disebut sebagai "kekaisaran emas". Berkat ayah Commodus itu, kekaisaran bertahan dengan mengagumkan di tengah kesulitan luar biasa.
Cassius Dio menyaksikan efek cacar di Romawi ketika penyakit itu menghabiskan banyak nyawa. Dio tahu kengerian dan kehancuran yang ditimbulkannya. Menurutnya, trauma dapat diatasi jika masyarakat yang tertata dengan baik bekerja sama untuk memulihkan dan membangun kembali. Dan masyarakat yang muncul dari upaya tersebut dapat menjadi lebih kuat dari sebelumnya.
Inilah yang harus ditiru oleh masyarakat di zaman modern. Tidak dapat dipungkiri jika Covid-19 menebarkan banyak ketakutan dan korban yang tidak sedikit. Tidak jarang, masyarakat saling menyalahkan atas penderitaan. Perpecahan sosial dan ekonomi pun tidak dapat dihindari.
Wabah Antoninus jauh lebih mematikan daripada Covid-19. Bangsa Romawi tidak mampu menyelamatkan orang sakit sebaik kita. Tapi Romawi bertahan. Komunitasnya dibangun kembali. Dan para penyintas bahkan datang untuk melihat kembali masa wabah. Mereka bernostalgia, menyadari tentang kekuatan masyarakat dan pemerintahnya.
Itu pelajaran berharga yang bisa kita petik dari wabah Antoninus yang mematikan di zaman Romawi.
Source | : | Smithsonian Magazine |
Penulis | : | Sysilia Tanhati |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR