Nationalgeographic.co.id—Isu netralitas karbon berkembang pesat seiring dengan perubahan iklim yang kian memburuk. Lewat, Perjanjian Paris tahun 2015, negara-negara di dunia sepakat untuk mengurangi karbon sebelum 2030 demi kestabilan dunia dari krisis iklim.
Oleh sebab itu, ragam usaha dilakukan oleh banyak kalangan seperti pemerintah dan ilmuwan di beberapa negara untuk mewujudkannya. Indonesia mulai menunjukkan keseriusan dalam memerangi krisis iklim.
Mereka punya target ambisius mengurangi emisi gas rumah kaca di sektor energi, limbah, industri, pertanian, kehutanan. Hal itu turut dibantu juga oleh bisnis berkelanjutan yang dijalankan beberapa perusahaan seperti sektor transportasi elektrik.
Di sisi lain, karena ancaman iklim mulai terasa dan kian parah di masa depan, kalangan anak muda punya kesadaran. Anak muda Indonesia berlomba-lomba menawarkan inovasi baru yang bisa dipraktikkan.
"Mereka punya kesadaran tentang karbon netral yang luar biasa," kata Jatna Supriatna, profesor di Chairman of Research Center for Climate Change Universitas Indonesia (RCCC-UI), dalam sebuah perbincangan Minggu 16 Oktober 2022.
Dia sedang menjadi juri bagi lomba karya ilmiah dan proyek dari murid-murid SMA yang menjadi finalis di Toyota Eco Youth (TEY) ke-12. Ada 25 sekolah dari berbagai wilayah Indonesia yang menjadi finalis dalam kompetisi ini. Sebelumnya, mereka diseleksi ketat dari 50 proposal eco project.
"Itu pengetahuan mereka mengenai lingkungan sangat bagus. Rata-rata dari mulai mereka dari masalah sampah, masalah energi, masalah climate change, masalah lain-lain mereka tahu, dan bagaimana menanggulangi, mendaur ulang, dan sebagainya," kata Jatna. "Jadi isu-isu itu sudah mereka kuasai."
Jatna memandang, adanya perubahan kesadaran sains generasi muda hari ini dibandingkan sebelumnya. "Generasi setelah dan sebelum pandemi saja sudah beda," tuturnya. Generasi masa kini memiliki keresahan atas informasi yang menerpa kerap keliru. Akibatnya mereka mencari kebenaran lewat sains.
Atas mencari kebenaran lewat sains dan penghayatan mereka terhadap masalah sekitar, terutama pada isu lingkungan, mereka memiliki ketakutan atas ancaman masa depan. Mereka menjadi penggerak utama di masa mendatang, sehingga mulai dari sekarang mencari jalan untuk menuntaskan, bahkan mencegahnya.
Sebelum mewujudkannya, 25 finalis itu menghadapi lokakarya dan bimbingan, baik secara daring dan luring. Proyek mereka selain mewujudkan keberlanjutan dan karbon netral adalah memanfaatkan platform digital berbasis pengembangan aplikasi.
Para juri akan memilih tiga proyek terbaik. Kelak, proyek-proyek inilah yang akan disokong untuk menjadi percontohan permasalahan lingkungan di tempat atau situasi yang lain untuk mengurangi emisi karbon.
Editor in Chief National Geographic Indonesia Didi Kaspi Kasim berpendapat, ada pertumbuhan yang signifikan dari ide inovasi yang masuk dalam kompetisi ini. "Artinya, bukan hanya sekadar banyak yang berkompetisi, tapi keingintahuan akan lingkungan (pada generasi muda) itu membaik," ujarnya.
Didi juga menjadi juri dalam kompetisi tersebut. Usaha untuk terlibat dalam penyelesaian masalah lingkungan, khususnya karbon netral, adalah wujud memperbaiki apa yang selama ini salah akibat generasi sebelumnya, terang Didi.
"Generasi gue sebelumnya sudah fail, generasi selanjutnya yang melanjutkan perjuangan," tuturnya.
Ada banyak inovasi yang mereka tawarkan dalam kompetisi ini. Sebagian sudah berjalan dengan melibatkan banyak pihak untuk mewujudkan keberlanjutan dan ekonomi sirkular. Misalnya, mereka melibatkan pengepul sampah, bank sampah, dan daur ulang, agar bisa menjadi material produksi.
Baca Juga: Ekonomi Sirkular: Siasat Mewajibkan Limbah Didaur Ulang di Segala Lini
Baca Juga: Bagaimana Mengklasifikasikan Seluruh Ekosistem di Planet Bumi?
Baca Juga: Butik Berkelanjutan ala Kiehl's: Contoh Bisnis Ramah Lingkungan
Mereka juga membawa langsung proyek jadi untuk ditampilkan kepada para juri. Beberapa di antaranya mulai dari alat pengendali banjir sebagai sumber tenaga listrik, pembalut ramah lingkungan, hingga kontainer ramah lingkungan.
Tidak hanya itu, kegiatan pelatihan, lokakarya dan bimbingan membuat para murid-murid untuk mewujudkan proyek mereka, bisa terkoneksi dengan beberapa stakeholder seperti pemerintah, organisasi nirlaba, dan pebisnis.
“Berjejaring ini yang perlu dikembangkan, bertemu dengan orang-orang yang tepat--bertemu dengan kawan-kawan mereka yang punya keahlian tepat, sehingga inisiatif-inisiatif untuk mewujudkan akselerasi itu bisa terjadi,” kata Didi.
Penulis | : | Afkar Aristoteles Mukhaer |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR